05 September 2013

Miss World : Penyusupan budaya berkedok kontes kecantikan

Miss world dengan segala covernya tetaplah sebuah kontes yang lebih mengarak ke fisik, meskipun di kampanyekan dengan kecerdasan. Sejak jaman dahulu obyek wanita tetap menarik di dunia ini. Bahkan kadang wanita sendiri tidak merasa ditipu oleh para penipu berkedok harkat dan martabat kewanitaan. Iklan-iklan akan lebih menjual jika di dalamnya ada nilai-nilai yang mengeksploitasi tubuh wanita tanpa batas. Nilai-nilai yang lebih mengarah ke arah sex bebas.
Penyelengaraan miss world di bali ini juga suatu kecelakaan dan mungkin memang di skenariokan agar terjadi kecelakaan di indonesia. Dari sisi religi, negara dengan umat iuslam terbanyak di asia ini, seakan-akan dibuat sebuah bidak permainan. Dengan gampannya penyelenggara miss world mengajukan ijin ke pemerintah, padahal secara logika, dengan banyaknya umat islam yang berada di negara ini, pasti akan ada konflik. Seakan-akan memang diskenariokan untuk mencoba memecah belah pemikiran umat islam, di kotakkan dan di petakan, siapa saja yang beraliran puritan maupun liberal. Siapa yang mendukung dan menolak, sehingga setelah miss world ini, mungkin akan ada agenda sejenis masuk ke wilayah negara kita tercinta ini.
Agenda internasional  ini kemungkinan besar memang bertujuan untuk memecah belah negara ini. Coba kita bayangkan, atau kita bandingkan, salah satu keruntuhan Uni soviet kala itu, bukan saja masalah politik militer invasi ke afghanistan, namun juga masalah budaya – budaya ke-baratan yang sebenarnya bertentangan dengan marxisme awal saat revolusi era Lenin maupun Stalin. Bahkan soviet dikenal sebagai negara porno besar.  Negara dengan kekuatan besar dan ideologi yang cukup membahana di seantero dunia, bisa dihancurkan dengan penyusupan budaya-budaya yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya asal. Kekuatan militer yang besar dan raksasa terutama dengan pakta warsawanya seakan-akan membisu saat gelombang budaya menyikat pemikiran generasi mudanya.
Melihat kondisi umat islam di negara kita ini, dengan beragam alirannya, sebenarnya merupakan peluanguntuk persatuan , namun juga ada peluang kehancuran, banyak benturan pemikiran yang memang sengaja dibuat untuk dibenturkan, yang ranahnya bukan lagi perdebatan untuk mencari keilmuan tapi sudah penghancuran. perdebatan sudah jauh melenceng dari kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan alasan pembaharuan namun justru seakan-akan kembali ke belakang. Salah satunya miss world 2013, dengan alasan emansipasi, brain, beauty, tidak ada bikin dan lainnya, sekaan-akan menjustifikasi untuk melindungi wanita.
Kemudian dari sisi pariwisata, coba kita perhatikan iklan-iklan di TV kabel lokal, yang pertama berani mengiklankan pariwisatanya di dunia justru adalah malaysia dan singapura. Negara yang berani  tanpa miss world, justru pariwisatanya mendunia.  Kalo memang pemerintah berani, tolak saja miss world, anggaran dipakai untuk mengkampanyekan pariwisata indonesia dengan lebih beradad dan ujung pasti barokah. Tidak perlu pamer aurat untuk membuat negara kita kaya devisa dari pariwisata. Tidak ada korelasi antara pariwisata dengan pamer aurat. Bahasa suroboyoanya : “Kaspo cak.”

Hal ini juga sebagai titik tolak semua elemen islam, bahwa serangan bertubi-tubi ke negara kita akan semakin sering dan gencar. Mulai dari pemikiran liberal hingga suatu budaya. Dengan berbagai aliran apapun, seharusnya dengan pendidikan yang baik di masing-masing harokah atau pergerakannya, tetap ada poin yang sama yaitu ukhuwah. 

22 Agustus 2013

KERUSUHAN LAPAS : antara penegakan hukum dan pembinaan

Keprihatianan atas banyaknya kerusuhan Lapas yang semakin sering terjadi, mulai dari salemba, krobokan hingga tanjung gusta medan. Dunia hukum di indonesi masih memperihatinkan namun sekaligus membukakan mata bahwa memang segera diperlukan suatu perbaikan yang banyak. Saat penegakan hukum sudah berjalan positif, namun tidak diikuti infrastruktur yang ada dan mampu, salah satunya lapas, maka penegakan hukum tersebut hanya bersifat “penumpasan” saja, tidak ada unsur untuk perbaikan.
Kondisi penegakan hukum dalam hal pembinaan para narapidana memang masih belum menampakan hasil yang nyata di tinjau dari sisi hasil atau setelah seoarng narapidana keluar. Kadang masih saja ada narapidana yang masih melakukan sebuah aksi bromocorah. Lapas yang seharusnya menjadi sebuah tempat untuk “pendidikan” dan “pencucian dosa” malah menjadi suatu tempat untuk pendidikan kriminal dan penyiapan aksi – aksi kriminal lagi.
Salah satu analisa problem, yang pertama adalah kapasitas yang berlebihan. Hal ini sangat berbahaya, bisa menjadi api di dalam sekam, sewaktu-waktu akan meletus menjadi sebuah kerusuhan, sewaktu-waktu akan bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang merasa sudah saatnya membuat kekacauan di negara ini bahkan tidak mungkin ini salah satu dari aksi untuk melancarkan cara pihak ketiga yang bersikap negatif untuk menyambut tahun pemilu, 2014. Kurikulum pendidikan di Lapas memang perlu segera di buat secara tegas dan alangkah baiknya, untuk sementara lebih bernafaskan penegakan hukum secara ketat bukan lebih banyak ke arah pembinaan kemasyarakatan yang tidak ada aturan hukum, atau lebih banyak ke norma kemasyarakatan, yang secara penegakan hukum akan sulit di praktekan. Kelebihan kapasitas ini seharusnya segera menjadi konsen negara ini untuk perbaikan mutu Lapas – Lapas di nusantara ini. Secara simpelnya, buat peta rencana pembuatan lapas – lapas tambahan. Sebagai suatu organisasi yang di bawah birokrasi seharusnya ini perkara yang gampang, mudah dan tidak perlu di buat susah. Beking birokrasi, kebutuhan dan bukti kerusuhan sudah ada. Tinggak eksekusi secara jujur dan profesional.
Kedua, kewenangan. Selama ini kita mengenal tahanan polisi, kejaksaan dan juga lapas. Permasalahannya seharusnya alur birokrasi, dalam hal ini, alur penyelesaian perkara segera di buat cepat. Hingga tidak ada penumpukan narapidana atau pun yang sedang dalam proses. Jikalau memang ada masalah kapasitas, ajukan saja lapas tambahan sehingga bisa menerima tahanan titipan, dan tersentral dan lebih mudah. Ini akan memudahkan pengawasan, mengurangi resiko suap dan lainnya.
Ketiga, masalah pengamanan. Selama ini dari beberapa berita, profil seorang petugas lapas “Kurang sangar” untuk menghadapi narapidana berbahaya. Mungkin perlu di pikirkan juga di satuan lapas tersebut, ada satuan pemukul yang berkarakter keras, tanpa ampun, juju dan profesional dalam penegakan hukum. Kita akui, di negara ini, masih banyak orang yang lebih “takut” bukan “segan” terhadap aparat dari TNI yang memang dilatih keras dan disiapkan untuk perang (lebih garangnya lagi disiapkan untuk bunuh orang) daripada orang-orang sipil. Dari kerusuhan tersebut tetap dibutuhkan profil petugas lapas yang keras. Sebagai contoh kecil, Dari beberapa tayangan di TV kabel, dari channel national geographic, biasanya dalam lapas itu sudah ada pembagian tugas, mulai dari yang bersiap untuk bermain keras jika suatu saat ada kerusuhan ataupun ada masalah hukum dan juga yang bermain lembut (pemuka agama, psikolog dan sejenisnya). Kolaborasi itu akan bisa membuat napi di lapas – lapas itu menjadi segan dan juga takut. Dengan pendekatan secara lembut diharapkan hati mereka menjadi lembut, sehingga merasa di “orang”kan dan akhirnya segan. Namun juga perlu pendekatan keras bahkan cenderung tegas, tanpa kompromi, sehingga napi juga akan merasa takut untuk melanggar hukum. Yang terjadi selama ini , biasanya mereka takut masuk lapas karena takut dengan narapidannya bukan takut hukumnya.
Keempat, pola pembinaan atau kurikulum pembinaan dan pendidikan perlu segera di benahi, di dalamnya termasuk sistem prosedur yang berlaku. Dari berita-berita di koran, saat terjadi kerusuhan, biasanya massa yang bergerak cukup besar, sehingga petugas lapas reguler kewalahan dan akhirnya harus “kalah”. Diperlukan sistem untuk menangani atau mencegah berkumpulnya massa yang sedemikian banyak. Bisa dengan memecah konsentrasi dengan pengamanan yang maksimal. Terutama narapidan yang terlibat kerusuhan-kerusuhan massal, mereka mudah digerakkan. Ada batas antar blok yang jelas. Tetap ada pembatasan saat ada pertemuan bersama. Pembinaan internal, selain kesigapan petugas, juga diperlukan data-data intelijen yang akurat. Siapa saja napi yang mempunyai kecenderungan berontak, anarkis, penghasut, atau napi yang diam saja ? Apakah akan ada aksi balasan setiap ada penegakan hukumdi lapas tersebut ? apakah akan ada aksi besar-besaran atas terjadinya suatu peristiwa hukum di lapas tersebut ? apakah diperlukan untuk memanggil back up dari kepolisian bahkan TNI ? itu semua diperlukan. Daya penciuman intelijen atas terjadinya suatu kerusuhan tetap harus dikembangkan dan dilatih. Boleh lah menggunakan pendekatan kekeluargaan atau sosial, tapi tetap harus ada ketegasan
Kelima, moral petugas Lapas. Salah satu hilanganya kewibawaan petugas dan juga hukum, adalah saat ada oknum petugas yang sedemikian mudah mengijinkan praktek kriminal di lapas tersebut dengan diganti segepok uang. Pabrik narkoba, praktek perdagangan narkoba hingga free sex bukan barang aneh di lapas. Jika lapas memang di buat untuk menyiapkan narapidana agar insyaf dan bisa kembali ke masyarakat dengan baik, hindari hal-hal negatif tersebut. Oknum –oknum petugas lapas akhirnya yang membuat lapas tidak di takuti lagi. Narapidan pemberontak akhirnya berfikir ‘anda sudah kami bayar….”. Wibawa hilang, tidak ditakuti dan akhirnya, justru petugas lapas yang diberlakukan sewenang-wenang oleh narapidana. Suatu keterbalikan keadaan yang bodoh.

Dengan bersinerginya semua elemen kekuatan penegak hukum, maka perbaikan lapas yang positif akan bisa membuat penegakan hukum yang baik. Meskipun sebuah hukuman adalah suatu pembalasan, namun tetap dalam harapan, bahwa lapas tetap harus bersahabat dengan narapidana tanpa harus kehilangan kewibawaan dari lapas tersebut. 

01 Desember 2012

Indonesia - Malaysia AFF 2012, bukan sekadar sepak bola...


Sabtu ini, 01 desember 2012, pubik kedua negara akan disuguhi suatu pertandingan yang sarat dengan tendesnsius yang sangat luas. Bukan saja masalah hasil akhir pertandingan nanti tapi juga suatu rivalitas yng merupakan pelampiasan emosi bagi kedua negara serumpun ini.
Indonesia tentu akan berusah membalas kekalahan 2 tahun lalu saat di bantai di kandang malaysia 3-0, yang akhirnya menipiskan peluang untuk meraih piala AFF 2010 untuk pertama kali. Indonesia datang dengan kekuatan yang lumayan pincang, sebagai efek domino dari kekisruhan lembaga tertinggi sepakbolanya, PSSI. Di tambah lagi penolakan para klub dan pemain dari masing-masing fraksi sepakbola. Sebelum berangkat ke malaysia, negara ini sudah dianggap tidak akan mempunyai peluang yang cukup besar sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar pincang negera kita tercinta ini di mata malaysia. Saya mencoba menyoroti rivalitas ini dari aspek sosial politik serta militer.
Sudah cukup lama kita disuguhi berita-berita menyakitkan dari tetangga jiran kita ini. Mungkin kita ingat saat terjadi persenggolan kapal ARLRI dengan kapal TDM. Yang saat itu juga sentimen anti malaysia segera meningkat, hingga dibuka pendaftaran relawan untuk mengganyang malaysia. Entahlah, apakah ini hanya setting politik tertentu ataukah memang ketidaksnegajaan ?, tapi yang jelas saat itu juga kita tersadar bahwa negara kita tercibta ini, dengan laut yang cukup luas, bisa dengan mudah di sentil oleh kapal perang TDM. Kita juga tersadar bahwa kita masih membutuhkan alat-alat perang yang sebebarnya sangat vital untuk menjaga kedaulatan negara kita, terutama perairan serta pulau-pulau yang cukup jauh ataupun mendekati perbatasan. Mungkin kita masih ingat kasus pulau yang sebenanrnya secara historis asuk wilayah indonesia, namun karena kita lengah, akhirnya ada celah hukum yang diapaki malaysia untuk mengklaim pulau tersebut. Ini juga merupakan kelengahan serta dosa kita yang belum mau bersyukur. Diberi kekayaan sedemikian luas, termasuk laut dan di pulau, ditelantarkan bahkan mungkin dijual.
Setelah beberapa insiden militer tersebut, masih jiga terjadi bentuk-bentuk pelecehan atupun ketidak adilan bagi para buruh-buruh kita di negera jiran tersebut. TKI-Tki kita seperti menjadi bulan-bulanan malaysia, mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, hingga kasus-kasus pidana. Ini juga seharusnya memberi sedikit sentilan ke pemerintah, bahwa lapangan kerja di negara ini masih sangat kurang, peluang-peluang wirausaha masih dianggap sebagai profesii yang kurang menjanjikan sehingga justru peluang wirausaha di negara ini justru dikuasai oleh saudara-saudara kita dari tirai bambu. Kita hanya senang dengan mengekspor tenaga manusia kita, tanpa mempedulikan mereka di sana akan di buat apa ?
Setelah itu, masih ada klaim-klaim kebudayaan yang di klaim terlahir dari bumi malaysia. Batik, reog sampai keris. Ini juga sebenarnya juga sebagai pelecut buat kita. Jangan meremehkan suatu pendaftaran hukum, dalam hal ini HAKI. Temuan-temuan atau warisan leluhur kita, yang dulu mungkin di buat dengan suatu pemikiran, kerja keras dan ikhtiar habis-habisan, sekarang malah di telantarkan oleh anak bangsanya sendiri. Enntahlah kita ini  bisa disebut oelh para pendiri negar ini dengan generasi jahanam, generasi yang bisa mengenal bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” tapi apa lacur, kerja keras para pendiri negara ini tidak dianggap oleh anak bangsanya sendiri.
Dari berbagai kejadia di atas, sebenarnya kita harus mengambil suatu ibroh, bahwa kita mulai tertinggal di berbagai aspek. Jangan pedulikan masalah permainan kotor mereka, tapi seharusnya kita pun mempersiapkan dengan baik. Jangan hanya menjadi negar yang reaksioner saja, yang baru beraksi setelah diusik. Jika negara kita kuat di berbagai bidang, kekuatan militer yang cerdas, kuat dan besar, mungkin kapal TDM akan mikir lagi bila mencoba memprovokasi atau mungkin saat terjadi pelanggaran tersebut, saat kekuatan diplomasi kita ditambah kekuatan militer kuat, kita tinggal torpedo saja kapal mereka, tapi sekali lagi, armada kapal selamkita masih mimpi.
Akhirnya dari kejadian di atas, merembet ke rivalitas sepakbola. Tapi semoga kita tidak terjebak oleh euforia sesaat saja. boleh saja kita mendukung timnas sepakbola kita dengan habis-habisan, tapi jangan sampai kita hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yangmemang sengaja menciptakan rivalitas semu sepakbola, agar pelanggaran-pelanggaran mereka teradap warga negara kita terlupakan. Maish banyak yang harus kita kerjakan untuk menghadapi negara-negara tetangga kita yang mulai main gertak terhadap negara ini.

Indonesia - Malaysia AFF 2012, bukan sekadar sepak bola...


Sabtu ini, 01 desember 2012, pubik kedua negara akan disuguhi suatu pertandingan yang sarat dengan tendesnsius yang sangat luas. Bukan saja masalah hasil akhir pertandingan nanti tapi juga suatu rivalitas yng merupakan pelampiasan emosi bagi kedua negara serumpun ini.
Indonesia tentu akan berusah membalas kekalahan 2 tahun lalu saat di bantai di kandang malaysia 3-0, yang akhirnya menipiskan peluang untuk meraih piala AFF 2010 untuk pertama kali. Indonesia datang dengan kekuatan yang lumayan pincang, sebagai efek domino dari kekisruhan lembaga tertinggi sepakbolanya, PSSI. Di tambah lagi penolakan para klub dan pemain dari masing-masing fraksi sepakbola. Sebelum berangkat ke malaysia, negara ini sudah dianggap tidak akan mempunyai peluang yang cukup besar sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar pincang negera kita tercinta ini di mata malaysia. Saya mencoba menyoroti rivalitas ini dari aspek sosial politik serta militer.
Sudah cukup lama kita disuguhi berita-berita menyakitkan dari tetangga jiran kita ini. Mungkin kita ingat saat terjadi persenggolan kapal ARLRI dengan kapal TDM. Yang saat itu juga sentimen anti malaysia segera meningkat, hingga dibuka pendaftaran relawan untuk mengganyang malaysia. Entahlah, apakah ini hanya setting politik tertentu ataukah memang ketidaksnegajaan ?, tapi yang jelas saat itu juga kita tersadar bahwa negara kita tercibta ini, dengan laut yang cukup luas, bisa dengan mudah di sentil oleh kapal perang TDM. Kita juga tersadar bahwa kita masih membutuhkan alat-alat perang yang sebebarnya sangat vital untuk menjaga kedaulatan negara kita, terutama perairan serta pulau-pulau yang cukup jauh ataupun mendekati perbatasan. Mungkin kita masih ingat kasus pulau yang sebenanrnya secara historis asuk wilayah indonesia, namun karena kita lengah, akhirnya ada celah hukum yang diapaki malaysia untuk mengklaim pulau tersebut. Ini juga merupakan kelengahan serta dosa kita yang belum mau bersyukur. Diberi kekayaan sedemikian luas, termasuk laut dan di pulau, ditelantarkan bahkan mungkin dijual.
Setelah beberapa insiden militer tersebut, masih jiga terjadi bentuk-bentuk pelecehan atupun ketidak adilan bagi para buruh-buruh kita di negera jiran tersebut. TKI-Tki kita seperti menjadi bulan-bulanan malaysia, mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, hingga kasus-kasus pidana. Ini juga seharusnya memberi sedikit sentilan ke pemerintah, bahwa lapangan kerja di negara ini masih sangat kurang, peluang-peluang wirausaha masih dianggap sebagai profesii yang kurang menjanjikan sehingga justru peluang wirausaha di negara ini justru dikuasai oleh saudara-saudara kita dari tirai bambu. Kita hanya senang dengan mengekspor tenaga manusia kita, tanpa mempedulikan mereka di sana akan di buat apa ?
Setelah itu, masih ada klaim-klaim kebudayaan yang di klaim terlahir dari bumi malaysia. Batik, reog sampai keris. Ini juga sebenarnya juga sebagai pelecut buat kita. Jangan meremehkan suatu pendaftaran hukum, dalam hal ini HAKI. Temuan-temuan atau warisan leluhur kita, yang dulu mungkin di buat dengan suatu pemikiran, kerja keras dan ikhtiar habis-habisan, sekarang malah di telantarkan oleh anak bangsanya sendiri. Enntahlah kita ini  bisa disebut oelh para pendiri negar ini dengan generasi jahanam, generasi yang bisa mengenal bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” tapi apa lacur, kerja keras para pendiri negara ini tidak dianggap oleh anak bangsanya sendiri.
Dari berbagai kejadia di atas, sebenarnya kita harus mengambil suatu ibroh, bahwa kita mulai tertinggal di berbagai aspek. Jangan pedulikan masalah permainan kotor mereka, tapi seharusnya kita pun mempersiapkan dengan baik. Jangan hanya menjadi negar yang reaksioner saja, yang baru beraksi setelah diusik. Jika negara kita kuat di berbagai bidang, kekuatan militer yang cerdas, kuat dan besar, mungkin kapal TDM akan mikir lagi bila mencoba memprovokasi atau mungkin saat terjadi pelanggaran tersebut, saat kekuatan diplomasi kita ditambah kekuatan militer kuat, kita tinggal torpedo saja kapal mereka, tapi sekali lagi, armada kapal selamkita masih mimpi.
Akhirnya dari kejadian di atas, merembet ke rivalitas sepakbola. Tapi semoga kita tidak terjebak oleh euforia sesaat saja. boleh saja kita mendukung timnas sepakbola kita dengan habis-habisan, tapi jangan sampai kita hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yangmemang sengaja menciptakan rivalitas semu sepakbola, agar pelanggaran-pelanggaran mereka teradap warga negara kita terlupakan. Maish banyak yang harus kita kerjakan untuk menghadapi negara-negara tetangga kita yang mulai main gertak terhadap negara ini.

18 September 2012

Dimensi Sosial-religi bersepeda


seorang soe hok gie, yang dikenal sebagai seorang aktivis pendakian gunung serta aktivis politik, pernah membuat suatu statemen terkait dengan alasan kenapa beliau senang mendaki gunung, bahwa nasionalisme itu tidak hanya bisa melalui jargon-jargon belaka, namun lebih bisa dimaknai saat kita melihat langsung budaya bangsa ini secara nyata.
mungkin dari hal diatas, bisa kita mengambil suatu pelajaran dan makna dari kita bersepda. aktivitas sepeda sangat banyak sekali manfaatnya, mulai dari kesehatan hingga memupuk rasa nasionalis dan kepekaan sosial kita. dari sisi kepekaan sosial, dengan melakukan sepeda yang benar, di dalamnya ada unsur silaturahim, yang dalam suatu riwayat, silaturahim itu bisa membuka pintu rejeki. dengan bersilaturahim antar aktivis sepeda, mungkin kita bisa membuat sesuatu atau mengusulkan sesuatu yang baru terkait dengan aktivitas lain, seperti buat usaha bisnis baru atau mengkoordinasi kegiatan bakti sosial.
dengan bersepeda, saat melalui daerah-daerah atau titik-titik kemiskinan, mungkin kita bisa melihat suatu realita bahwa kondisi ekonomi di negara ini masih banyak membutuhkan perbaikan ekonomi, masih banyak membutuhkan sinergi antara negara/lembaga/badan dengan orang-orang yang mamou secara ekonomi. 
dengan bersepeda juga kita bisa secara tidak langsung memberikan contoh yang baik. jika kita bersepda secara santun, baik dan sopan, maka kampanye sepeda kita akan dikenal dan dikenang terus sebagai suatu kampanye yang sejuk, suatu kampanya yang akan memberikan nilai lebih positif, sehingga ada nilai dakwah di dalamnya.apalagi jika kemudian kita memberikan suatu contoh atau praktek tentang ilmu sepeda yang akhirnya dicontoh dan diikuti terus oleh pihaklain, bisa juga menjadi amal jariyah, suatu amal yang tidak akan putus, meskipun kita sudah wafat, selama ilmu tersebut diamalkan.
jadi bersepeda pun mempunyai dimensi ibadah. sehingga jika kita niatkan secara benar dan ikhlas, maka kesehatan dapat, pahala dapat. jadi tidak hanya pegal-pegal saja yang kita dapat, tapi juga kepuasan dunaiwi dan akherat. selamat bersepeda.

14 Agustus 2012

tinjauan yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap keberlangsungan Lembaga Amil Zakat




Kasus Posisi :
  • Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ)
  • Adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat harus berubah dari bentuk yayasan menjadi bentuk Ormas islam
  • Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk pelanggaran di UUPZ

Dasar Hukum :
  • Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)
  • Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
  • Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat
  • Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan



Rekomendasi kami :

1.    Sentralisasi pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh BAZ. BAZ dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini berperan sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas berhak menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi, Kabupaten / kota). Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup rumit. Di satu sisi sebagai regulator, pembuat aturan main, di satu sisi sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada aturan yang sepihak, yang lebih menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.
2.    Pembebanan biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin besar. Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten. Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir pemerintah, maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah kurang lebih puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin berat. Dana yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan adanya LAZ-LAZ maka tidak membebani anggaran negara.
3.    Sentralilsasi yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter. Fungsi kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain Negara, maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan mengontrol dana-dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung akan memudahkan BAZ sebagai operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta” yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ dari BAZ. Salah satunya adalah proses pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam format sebuat Ormas. Hal ini juga menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini masih mengikuti dasar hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di dalamnya tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan hukum, justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap dipertahankan, karena di dalamnya sudah ada mekanisme pengaturan pengurus, pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau aset, yang seharusnya dari sisi kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan, LAZ bisa dipersepsikan sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas penyuka zakat”  yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul” padahal sebagai LAZ ada dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik baik melalui laporan rutin ataupun melalui audit resmi, dan itu jika diatur dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit pertanggungjawabanya.
4.    Jika semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur birokrasi yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap. Juga rawan terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak terkontrol, rawan konflik, seperti kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu kemana dana-dana yang diperoleh ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang cendrung justru akan membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau “sarang baru Korupsi”.
5.    Ancaman pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan denda.hal ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun takmir-Tamir masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir atau ketua LAZ akan masuk penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau menerima zakat dan selanjutnya Muzakki akan malas untuk berzakat. Kecenderungan Muzakki di daerah, khususnya di jawa timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal. Semangat berzakat yang 10 tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan yang dibuat sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.
6.    Jika semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu pintu dakwah yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan pendekatan zakat, diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas menengah, lebih mengena. Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan juga dengan kelebihan dana yang besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka zakat ini bisa mempersatukan berbagai kelas yang ada di masyarakat, terutama dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam hartanya dalam berzakat dan adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah satu titik pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat. Semuanya saling bersinergi.
7.    Posisi LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan ??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan dari atas (Baz) serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak berhak menyalurkan. Hal ini secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap hak konstitusional suatu Lembaga Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan masyarakat dengan program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat yang selama ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap merugikan LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi serta bisa di batalkan.
8.    Penyempitan dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas islam, maka hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi legal formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di dapat daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam, justru akan membuat suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak. Pengaturan Ormas sendiri selama ini lebih banyak untuk kepentingan pemerintah, dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak terlalu ketat dibandingkan dengan yayasan.
9.    Dengan semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja LAZ nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.
10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat. Dalam hal pengelolaan selama ini, khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan BAZ pun jauh tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10 peringkat lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya nasional, masih tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.
11. Kepentingan Politik yang sedemikian besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga akan berghubungan dengan BAZ. Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup berlebihan di BAZ, serta semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan berapa dana yang masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga yang berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk korupsi atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi posisi BAZ, sebagai regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang berhak membuat aturan main dari semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti termasuk aturan mainyang mungkin cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ sebagai pelaksana.
12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang mengikuti aturan atau dalam posisi sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas bagi zakat, seharusnya pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara struktur terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat antara BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan lembaga atau badan pengawas sifatnya adalah regulator.
13. Perubahan bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang selama ini masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang mempunyai kesamaan hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada aturan main untuk pelaporan dana yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme perubahan-perubahan susunan kepengurusan maupun aturan-aturan. Yayasan juga langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih detail dalam pendaftarannya. Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol pertanggungjawaban. Mengingat yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban terutama drai Muzakki, uang pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam bentuk apa? Serta program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka pertanggungjawab tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik. Sedangkan dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.
14. Aspek hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang selama ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan khas “Hukum Progresif” dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau Hukum untuk manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya, memang diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang “keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua amil zakat dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru akan mematikan semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas yang cepat dan mudah akan sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk bergerak karena dibatasi pasal yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500 juta. Dengan semakin sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk berzakat akan turun.
15. Secara kelembagaan kami memang mendukung niat baik pemerintah untuk mengawasi LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya ada fungsi pengawasan oleh negara. Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung otoriter, mutlak. Sehingga niat baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif, dengan mengkerdilak gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.



TANAH : OBJEK SENGKETA YANG BERLUMUR DARAH




Sengeketa terkait dengan tanah, tidak ada habisnya di negara ini. Mulai dari kasus antar perseorangan bahkan keluarga, hingga institusi dengan kelompok masyarakat. Mulai dari perseteruan masalah waris keluarga hingga permasalahan hak ulayat. Tanah yang sejatinya sebagai suatu objek atau benda yang sangat atau patut dibanggakan oleh para pemiliknya, justru bisa menjadi sengketa yang bisa mengakibatkan korban jiwa. Kasus terbaru di rokanhilir hingga pembakaran inventaris perusahaan oleh massa di deli serdang, merupakan salah satu kasus terkait dengan sengketa tanah.
Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai itikad baik dengan proyek Landreform dan juga Agraria reform, yang salah satunya sebagai pemerataan kepemilikan tanah. Serta bagian dari mensejahterahkan penduduk bangsa ini. Dengan adanya landreform dan Agraria reform seharusnya bisa menghapus tuan-tuan tanah yang bersifat diktator, bisa menghapus perlakuan semena-mena terutama terhadap petani, yang sekarang lebih luas lagi pemaknaan terhadap landreform, tidak hanya maslaah tanah pertanian (luas) dan juga petani, namun sekarang lebih ke arah kepemilikan tanah secara kelompok, serta bukti kepemilikan atau pensertifikasian serta hal-hal lainnya.
Salah satu sumber konflik secara kelompok adalah kepemilikan tanah. Hal ini ada juga kaitannya dengan hak ulayat serta bukti kepemilikan terutama sertifikat. Hak ulayat adalah suatu hak yang bersifat komunalistik, kelompok tertentu. Yang menunjukan adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Bisa sebagai suku ataupun sebagai yang bersifat teritorial seperti desa. Serta diakui eksistensinya, dalam artian masih di pergunakan oleh masyarakat adat tersebut. Salah satu konflik yang cukup tajam adalah saat sekelompok masyarakat melakukan klaim bahwa tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang ataupun badan hukum. Maka saat itu juga akan dipastikan keadaan tegang akan merasuki para pihak. Ancama bentrok, pembakaran ataupun korban jiwa akan segera tergambar langsung.
Seharusny dalam hal ini pemerintah segera melaksanakan suatu aksi yang konkrit dalam hal penanganan hak ulayat. Salah satunya dengan menerbitkan sertifikat atau bukti kepemilikan yang bersifat nyata dan terdaftar di BPN (dalam artian diakui secara legal). Saat hak ulayat tersebut sudah didaftarkan di BPN, maka saat itu juga dilindungi secara hukum. Begitu juga sebaliknya, saat suatu badan hukum mengkalim sebuah kepemilikan tanah, dan ada bukti kepemilikan secara sah, maka penegakan hukum akan berjalan semestinya. Namun juga perlu diperhatikan, proses pembuatan sertifikasi tersebut benar-benar dipantau para pihak. Tidak ada main suap dianatar masyarakat adat atau juga sebaliknya. Dengan adanya sertiifikat yang diakui kedua pihak maka negara akan mudah menegakkan hukum. Di dalam hukum tersebut juga dibuat aturan jika suatu saat ada yang mengklaim, dengan tata cara yang sudah diatur juga di UU. Jadi dengan adanya aksi konkrit dari negara, maka negara tidak akan disibukkan oleh permasalahan-permasalahan yang semestinya bisa selesai tahun 1960 an. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam hal perencanaan ini, sehingga saat semuanya sudah ada dasar hukumnya, sosialisasi sudah dijalankan, dan sudah ada aturan tertulis, maka pemerintah tinggal sebagai operator, atau pengawas.
Dengan kondisi adat yang sedemikian banyak di indonesia, memang cukup berat. Namun jika tidak segera di mulai, maka bersiap-siap saja, tanah di negara ini tidak saja dihiasi oleh rindangnya pohon atau kuningnya padi, tapi juga dihiasi oelh amis darah sengketa yang tidak pernah berakhir. Hukum bukan hanya maslaah aturan kaku saja, tapi hukum juga bis amelakukan pendekatan-pendekatan secara sosial ke masyarakat.