20 Oktober 2011

Hukuman mati .....suatu kekejaman ataukah keharusan......



Salah satu kontroversi yang terus menerus di ranah Pidana adalah HUKUMAN MATI. Banyak sekali argumen-argumen yang berusaha untuk menghilangkan hukuman mati tersebut. Ada yang menyatakanmelanggar kemanusiaan, hak manusia untuk hidup dan sebagainya dengan dalih memberi maaf ataupun kasihan. Sedangkan dari pihak yang pro dengan hukuman mati, karena itu adalah pembalasan, hukuman setimpal, melihat dari sisi korban dan sebaganya, yang mungkin kata kebanyakan orang, tercium bau kebencian dan dendam.
Pasal 365 KUHP :
(4) diancam dengan piana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama ddua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, isertai pula oleh salah satu hak yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

Ancaman pidana mati dalam hukum Islam (Qishash.)  tercantum dalam Surat AI-BaQarah ayat 178 dan 179,
Ayat 178:
"Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan
wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara
terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu
keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara
untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu
akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 :
“ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".




Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa
pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya.
Roling, pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila
negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan
tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan
berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu
bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu
penyusulan pula terhadapnya.

Bichon van Tselmonde : saya masih selalu berkeyakinan,
bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan
masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari
sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana
seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat
diserahkan begitu saja. Tapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya.
Lombrosso dan Garofalo.
Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada
masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mung kini dapat diperbaiki lagi.
Para sarjana hokum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.
Bismar Siregar : tetap dipertahankannya
pidana mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan
masih tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji
tanpa perikemanusiaan , pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana
mati.
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih
meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh
bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasiranasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.







Jika kita bicara realita di negara indonesia ini, memang secara fakta, hukuman mati tidak mngurangi angka kejahatan. Semakin banyak kenekatan atau bahkan modus baru terkait dengan penghilangan nyawa. Namun kadang jika melihat semangat untuk perbaikan dan kondisi masyarakat serta dukungan, hukuman mati seharusnya tetap dipertahankan.
Kondisi masyarakat kita masih adanya “Ketakutan sektoral”. Coba anda lihat beberapa penduduk di daerah timur indonesia ataupun di daerah pedesaan. Kadang mereka lebih takut terhadap TNI daripada polisi. Hal ini seakan kontradiksi, karena seharusnya yang menjaga ketaatan hukum adalah polisi. Sehingga seharusnya polisi yang harus membuat calon pelaku kejahatan takut. Kadang ada ketakutan-ketakutan yang harus disetting oleh negara untuk menumbuhkan suatu kesadaran hukum. Kadang diperlukan paksaan secara nyata untuk membuat masyarakat segan terhadap hukum
Kalau pihak yang kontra dengan hukuman mati, mengatakan bahwa hukuman mati itu melanggar UUD45, coba kita lihat dari persepsi korban, apakah mereka juga tidak ada hak hidup ? apakah dirampasnya hak hidup mereka juga melanggar UUD’45 ?
Memang efek dari suatu ketakutan bukan karena kesadaran diri pribadi adalah seperti mambuat api dalam sekam. Sesuatu yang karena keterpaksaan itu memang menyimpan sesuatu yang menekan hati.
Yang perlu dirumuskan adalah suatu proporsionalitas saat di pengadilan nantinya terkait dengan keputusan. Hal ini juga nantinya akan lebih bersifat subyektif daripaa obyektif. Mungkin dengan negitu kita bisa menciptakan suatu sistem baru dengan agak mirip Anglo Saxon system. Dengan proporsinalitas yang bagus, meskipun ada pro kontra, maka masyarakat akan paham juga. Karena jika melihat sesuatu secara sempurna 100 % maka peraturan yang nantinya berimplikasi kepada kenyamanan hidup dengan tegaknya hukum akan sulit terwujud. Kadang kita harus mencebur ke lumpur yang sangat kotor untuk mencari mutiara-mutiara. (dari berbagai sumber)