17 November 2011

Keputusan Hakim : antara hukum positif dan rasa keadilan masyarakat

Kondisi peradilan di indonesia ini semakin rumit saja. Ada beberapa survey yang menyatakan bahwa hukum memang bisa dibeli. Hukum bisa diperjual belikan, bahkan pasal-pasal pun bisa diperjualbelikan. Hukum yang kita pelajari di bangku kuliah dengan berbagai macam perdebatan ilmiah dan segala bentuk teorinya, harus berbenturan dengan kondisi riil hukum du lapangan atau dalam tataran praktek. Perdebatan-perdebatan ilmiah ataupun teori-teori hukum yang secara “teori” sangat mulia kadang harus berbenturan baik dengan parapenjahat-penjahat yang mengakali hukum, atau bahkan kadang berbenturan dengan pendapat kebanyakan orang.
Dari kasus banyaknya pembebasan para koruptor dalam sidang tipikor. Ada sebagian orang yang merasa bahwa hakim tipikor yang memutus perkara tersebut adalah hakim yang bodoh, hakim yang mudah di sogok ataupun hakim yang tidak mengerti perasaan masyarakat anti korupsi. Memang hakim. yang sifatnya seperti penjahat mungkin ada
Suatu putusan hukum itu tidak hanya berdasarkan atas hakim saja. Iya, hakim memang sebagai pemegang amanah untuk memutus suatu perkara. Seorang hakim memang harus memperhatikan beberapa aspek sebelum melakukan seuatu keputusan. Hakim harus meneliti lagi berkas pemeriksaan dari jaksa dan polisi. Hakim juga harus meneliti juga rasa keadilan di masyarakat. Kadang ini yang terasa benturan dengan putusan-putusna yang ada. Kenapa lalu polisi dan jaksa “selamat” dari hujatan massa ?
Memang kadang terjadi suatu “clash” antara suatu aturan legal dengan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat secara sosial. Jika hal ini terjadi, memang harusnya hakim harus berfikir cerdas, arif dan bersiap mempertanggungjawabkannya.
Saat kita berfikir secara legal, maka hakim harus memutus sesuai dengan fakta yang ada di BAP oleh jaksa dan polri serta beberapa alat bukti. Hakim akan memutus sesuatunya berdasarkan peraturan hukum positif yang berlaku. Dari aspek ini, secara legalitas, akan memberi suatu kepastian hukum. Bila pelanggaran “A” dan sudah sesuai dengan pasal yang mengaturnya maka hukumnya adalah sesuai juga yang tersebut di pasal tersebut. Jika ini dilakukan secara istiqomah maka masyarakat luas akan respek terhadap hukum yang ada. Jika pun ada resistensi, maka sifatnya adalah hanya bersifat “mengubah” bukan untuk “menghujat”. Salah satu kuncinya adalah konsistensi.
Dengan keputusan yang bersifat sesuai dengan aturan yang berlaku, maka rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan cukup baik dan ini akan membuat mayarakat segan terhadap hukum.
Namun ada juga unsur “Luar” yang harus diperhatikan oleh hakim yaitu rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal ini bisa kita lihat orang memandang tersangka korupsi adalah pasti sebagai koruptor. Padahal kita juga menganut asas praduga tak bersalah. Kalau ini kita ikuti terus maka sisi negatifnya akan terjadi suatu keputusan massa, keputusan yang berdasarkan hukum yang tidak jelas, tidak tertulis dan dibuat oleh bukan orang yang berwenang. Hal ini kadang sangat mudah mempengaruhi masyarakat secara luas. Banyak stigma-stigma yang muncul. Namun rasa keadilan ini juga harus tetap diperhatikan dalam setiap pengambil keputusan namun bukan suatu keputusan mutlak namun semecam basis pendukung saja.
Dengan meramu sedemikian rupa antara hukum positif yang berlaku dan sudah jelas dasar hukumnya , kemudian coba memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, hakim akan dapat memunculkan suatu keputusan yang baik, siap di pertanggungjawabkan bahkan munngki suatu keputusan yang atraktif. Memang berat di tataran praktis, namun jika semua pihak bisa menjaga ke-istiqomahan untuk tetap pemnegakkan hukum maka supremasi hukum akan terjaga. Wallahualam bishowab.