01 Desember 2012

Indonesia - Malaysia AFF 2012, bukan sekadar sepak bola...


Sabtu ini, 01 desember 2012, pubik kedua negara akan disuguhi suatu pertandingan yang sarat dengan tendesnsius yang sangat luas. Bukan saja masalah hasil akhir pertandingan nanti tapi juga suatu rivalitas yng merupakan pelampiasan emosi bagi kedua negara serumpun ini.
Indonesia tentu akan berusah membalas kekalahan 2 tahun lalu saat di bantai di kandang malaysia 3-0, yang akhirnya menipiskan peluang untuk meraih piala AFF 2010 untuk pertama kali. Indonesia datang dengan kekuatan yang lumayan pincang, sebagai efek domino dari kekisruhan lembaga tertinggi sepakbolanya, PSSI. Di tambah lagi penolakan para klub dan pemain dari masing-masing fraksi sepakbola. Sebelum berangkat ke malaysia, negara ini sudah dianggap tidak akan mempunyai peluang yang cukup besar sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar pincang negera kita tercinta ini di mata malaysia. Saya mencoba menyoroti rivalitas ini dari aspek sosial politik serta militer.
Sudah cukup lama kita disuguhi berita-berita menyakitkan dari tetangga jiran kita ini. Mungkin kita ingat saat terjadi persenggolan kapal ARLRI dengan kapal TDM. Yang saat itu juga sentimen anti malaysia segera meningkat, hingga dibuka pendaftaran relawan untuk mengganyang malaysia. Entahlah, apakah ini hanya setting politik tertentu ataukah memang ketidaksnegajaan ?, tapi yang jelas saat itu juga kita tersadar bahwa negara kita tercibta ini, dengan laut yang cukup luas, bisa dengan mudah di sentil oleh kapal perang TDM. Kita juga tersadar bahwa kita masih membutuhkan alat-alat perang yang sebebarnya sangat vital untuk menjaga kedaulatan negara kita, terutama perairan serta pulau-pulau yang cukup jauh ataupun mendekati perbatasan. Mungkin kita masih ingat kasus pulau yang sebenanrnya secara historis asuk wilayah indonesia, namun karena kita lengah, akhirnya ada celah hukum yang diapaki malaysia untuk mengklaim pulau tersebut. Ini juga merupakan kelengahan serta dosa kita yang belum mau bersyukur. Diberi kekayaan sedemikian luas, termasuk laut dan di pulau, ditelantarkan bahkan mungkin dijual.
Setelah beberapa insiden militer tersebut, masih jiga terjadi bentuk-bentuk pelecehan atupun ketidak adilan bagi para buruh-buruh kita di negera jiran tersebut. TKI-Tki kita seperti menjadi bulan-bulanan malaysia, mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, hingga kasus-kasus pidana. Ini juga seharusnya memberi sedikit sentilan ke pemerintah, bahwa lapangan kerja di negara ini masih sangat kurang, peluang-peluang wirausaha masih dianggap sebagai profesii yang kurang menjanjikan sehingga justru peluang wirausaha di negara ini justru dikuasai oleh saudara-saudara kita dari tirai bambu. Kita hanya senang dengan mengekspor tenaga manusia kita, tanpa mempedulikan mereka di sana akan di buat apa ?
Setelah itu, masih ada klaim-klaim kebudayaan yang di klaim terlahir dari bumi malaysia. Batik, reog sampai keris. Ini juga sebenarnya juga sebagai pelecut buat kita. Jangan meremehkan suatu pendaftaran hukum, dalam hal ini HAKI. Temuan-temuan atau warisan leluhur kita, yang dulu mungkin di buat dengan suatu pemikiran, kerja keras dan ikhtiar habis-habisan, sekarang malah di telantarkan oleh anak bangsanya sendiri. Enntahlah kita ini  bisa disebut oelh para pendiri negar ini dengan generasi jahanam, generasi yang bisa mengenal bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” tapi apa lacur, kerja keras para pendiri negara ini tidak dianggap oleh anak bangsanya sendiri.
Dari berbagai kejadia di atas, sebenarnya kita harus mengambil suatu ibroh, bahwa kita mulai tertinggal di berbagai aspek. Jangan pedulikan masalah permainan kotor mereka, tapi seharusnya kita pun mempersiapkan dengan baik. Jangan hanya menjadi negar yang reaksioner saja, yang baru beraksi setelah diusik. Jika negara kita kuat di berbagai bidang, kekuatan militer yang cerdas, kuat dan besar, mungkin kapal TDM akan mikir lagi bila mencoba memprovokasi atau mungkin saat terjadi pelanggaran tersebut, saat kekuatan diplomasi kita ditambah kekuatan militer kuat, kita tinggal torpedo saja kapal mereka, tapi sekali lagi, armada kapal selamkita masih mimpi.
Akhirnya dari kejadian di atas, merembet ke rivalitas sepakbola. Tapi semoga kita tidak terjebak oleh euforia sesaat saja. boleh saja kita mendukung timnas sepakbola kita dengan habis-habisan, tapi jangan sampai kita hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yangmemang sengaja menciptakan rivalitas semu sepakbola, agar pelanggaran-pelanggaran mereka teradap warga negara kita terlupakan. Maish banyak yang harus kita kerjakan untuk menghadapi negara-negara tetangga kita yang mulai main gertak terhadap negara ini.

Indonesia - Malaysia AFF 2012, bukan sekadar sepak bola...


Sabtu ini, 01 desember 2012, pubik kedua negara akan disuguhi suatu pertandingan yang sarat dengan tendesnsius yang sangat luas. Bukan saja masalah hasil akhir pertandingan nanti tapi juga suatu rivalitas yng merupakan pelampiasan emosi bagi kedua negara serumpun ini.
Indonesia tentu akan berusah membalas kekalahan 2 tahun lalu saat di bantai di kandang malaysia 3-0, yang akhirnya menipiskan peluang untuk meraih piala AFF 2010 untuk pertama kali. Indonesia datang dengan kekuatan yang lumayan pincang, sebagai efek domino dari kekisruhan lembaga tertinggi sepakbolanya, PSSI. Di tambah lagi penolakan para klub dan pemain dari masing-masing fraksi sepakbola. Sebelum berangkat ke malaysia, negara ini sudah dianggap tidak akan mempunyai peluang yang cukup besar sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar pincang negera kita tercinta ini di mata malaysia. Saya mencoba menyoroti rivalitas ini dari aspek sosial politik serta militer.
Sudah cukup lama kita disuguhi berita-berita menyakitkan dari tetangga jiran kita ini. Mungkin kita ingat saat terjadi persenggolan kapal ARLRI dengan kapal TDM. Yang saat itu juga sentimen anti malaysia segera meningkat, hingga dibuka pendaftaran relawan untuk mengganyang malaysia. Entahlah, apakah ini hanya setting politik tertentu ataukah memang ketidaksnegajaan ?, tapi yang jelas saat itu juga kita tersadar bahwa negara kita tercibta ini, dengan laut yang cukup luas, bisa dengan mudah di sentil oleh kapal perang TDM. Kita juga tersadar bahwa kita masih membutuhkan alat-alat perang yang sebebarnya sangat vital untuk menjaga kedaulatan negara kita, terutama perairan serta pulau-pulau yang cukup jauh ataupun mendekati perbatasan. Mungkin kita masih ingat kasus pulau yang sebenanrnya secara historis asuk wilayah indonesia, namun karena kita lengah, akhirnya ada celah hukum yang diapaki malaysia untuk mengklaim pulau tersebut. Ini juga merupakan kelengahan serta dosa kita yang belum mau bersyukur. Diberi kekayaan sedemikian luas, termasuk laut dan di pulau, ditelantarkan bahkan mungkin dijual.
Setelah beberapa insiden militer tersebut, masih jiga terjadi bentuk-bentuk pelecehan atupun ketidak adilan bagi para buruh-buruh kita di negera jiran tersebut. TKI-Tki kita seperti menjadi bulan-bulanan malaysia, mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, hingga kasus-kasus pidana. Ini juga seharusnya memberi sedikit sentilan ke pemerintah, bahwa lapangan kerja di negara ini masih sangat kurang, peluang-peluang wirausaha masih dianggap sebagai profesii yang kurang menjanjikan sehingga justru peluang wirausaha di negara ini justru dikuasai oleh saudara-saudara kita dari tirai bambu. Kita hanya senang dengan mengekspor tenaga manusia kita, tanpa mempedulikan mereka di sana akan di buat apa ?
Setelah itu, masih ada klaim-klaim kebudayaan yang di klaim terlahir dari bumi malaysia. Batik, reog sampai keris. Ini juga sebenarnya juga sebagai pelecut buat kita. Jangan meremehkan suatu pendaftaran hukum, dalam hal ini HAKI. Temuan-temuan atau warisan leluhur kita, yang dulu mungkin di buat dengan suatu pemikiran, kerja keras dan ikhtiar habis-habisan, sekarang malah di telantarkan oleh anak bangsanya sendiri. Enntahlah kita ini  bisa disebut oelh para pendiri negar ini dengan generasi jahanam, generasi yang bisa mengenal bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” tapi apa lacur, kerja keras para pendiri negara ini tidak dianggap oleh anak bangsanya sendiri.
Dari berbagai kejadia di atas, sebenarnya kita harus mengambil suatu ibroh, bahwa kita mulai tertinggal di berbagai aspek. Jangan pedulikan masalah permainan kotor mereka, tapi seharusnya kita pun mempersiapkan dengan baik. Jangan hanya menjadi negar yang reaksioner saja, yang baru beraksi setelah diusik. Jika negara kita kuat di berbagai bidang, kekuatan militer yang cerdas, kuat dan besar, mungkin kapal TDM akan mikir lagi bila mencoba memprovokasi atau mungkin saat terjadi pelanggaran tersebut, saat kekuatan diplomasi kita ditambah kekuatan militer kuat, kita tinggal torpedo saja kapal mereka, tapi sekali lagi, armada kapal selamkita masih mimpi.
Akhirnya dari kejadian di atas, merembet ke rivalitas sepakbola. Tapi semoga kita tidak terjebak oleh euforia sesaat saja. boleh saja kita mendukung timnas sepakbola kita dengan habis-habisan, tapi jangan sampai kita hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yangmemang sengaja menciptakan rivalitas semu sepakbola, agar pelanggaran-pelanggaran mereka teradap warga negara kita terlupakan. Maish banyak yang harus kita kerjakan untuk menghadapi negara-negara tetangga kita yang mulai main gertak terhadap negara ini.

18 September 2012

Dimensi Sosial-religi bersepeda


seorang soe hok gie, yang dikenal sebagai seorang aktivis pendakian gunung serta aktivis politik, pernah membuat suatu statemen terkait dengan alasan kenapa beliau senang mendaki gunung, bahwa nasionalisme itu tidak hanya bisa melalui jargon-jargon belaka, namun lebih bisa dimaknai saat kita melihat langsung budaya bangsa ini secara nyata.
mungkin dari hal diatas, bisa kita mengambil suatu pelajaran dan makna dari kita bersepda. aktivitas sepeda sangat banyak sekali manfaatnya, mulai dari kesehatan hingga memupuk rasa nasionalis dan kepekaan sosial kita. dari sisi kepekaan sosial, dengan melakukan sepeda yang benar, di dalamnya ada unsur silaturahim, yang dalam suatu riwayat, silaturahim itu bisa membuka pintu rejeki. dengan bersilaturahim antar aktivis sepeda, mungkin kita bisa membuat sesuatu atau mengusulkan sesuatu yang baru terkait dengan aktivitas lain, seperti buat usaha bisnis baru atau mengkoordinasi kegiatan bakti sosial.
dengan bersepeda, saat melalui daerah-daerah atau titik-titik kemiskinan, mungkin kita bisa melihat suatu realita bahwa kondisi ekonomi di negara ini masih banyak membutuhkan perbaikan ekonomi, masih banyak membutuhkan sinergi antara negara/lembaga/badan dengan orang-orang yang mamou secara ekonomi. 
dengan bersepeda juga kita bisa secara tidak langsung memberikan contoh yang baik. jika kita bersepda secara santun, baik dan sopan, maka kampanye sepeda kita akan dikenal dan dikenang terus sebagai suatu kampanye yang sejuk, suatu kampanya yang akan memberikan nilai lebih positif, sehingga ada nilai dakwah di dalamnya.apalagi jika kemudian kita memberikan suatu contoh atau praktek tentang ilmu sepeda yang akhirnya dicontoh dan diikuti terus oleh pihaklain, bisa juga menjadi amal jariyah, suatu amal yang tidak akan putus, meskipun kita sudah wafat, selama ilmu tersebut diamalkan.
jadi bersepeda pun mempunyai dimensi ibadah. sehingga jika kita niatkan secara benar dan ikhlas, maka kesehatan dapat, pahala dapat. jadi tidak hanya pegal-pegal saja yang kita dapat, tapi juga kepuasan dunaiwi dan akherat. selamat bersepeda.

14 Agustus 2012

tinjauan yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap keberlangsungan Lembaga Amil Zakat




Kasus Posisi :
  • Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ)
  • Adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat harus berubah dari bentuk yayasan menjadi bentuk Ormas islam
  • Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk pelanggaran di UUPZ

Dasar Hukum :
  • Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)
  • Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
  • Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat
  • Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan



Rekomendasi kami :

1.    Sentralisasi pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh BAZ. BAZ dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini berperan sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas berhak menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi, Kabupaten / kota). Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup rumit. Di satu sisi sebagai regulator, pembuat aturan main, di satu sisi sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada aturan yang sepihak, yang lebih menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.
2.    Pembebanan biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin besar. Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten. Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir pemerintah, maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah kurang lebih puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin berat. Dana yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan adanya LAZ-LAZ maka tidak membebani anggaran negara.
3.    Sentralilsasi yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter. Fungsi kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain Negara, maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan mengontrol dana-dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung akan memudahkan BAZ sebagai operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta” yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ dari BAZ. Salah satunya adalah proses pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam format sebuat Ormas. Hal ini juga menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini masih mengikuti dasar hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di dalamnya tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan hukum, justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap dipertahankan, karena di dalamnya sudah ada mekanisme pengaturan pengurus, pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau aset, yang seharusnya dari sisi kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan, LAZ bisa dipersepsikan sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas penyuka zakat”  yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul” padahal sebagai LAZ ada dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik baik melalui laporan rutin ataupun melalui audit resmi, dan itu jika diatur dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit pertanggungjawabanya.
4.    Jika semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur birokrasi yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap. Juga rawan terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak terkontrol, rawan konflik, seperti kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu kemana dana-dana yang diperoleh ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang cendrung justru akan membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau “sarang baru Korupsi”.
5.    Ancaman pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan denda.hal ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun takmir-Tamir masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir atau ketua LAZ akan masuk penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau menerima zakat dan selanjutnya Muzakki akan malas untuk berzakat. Kecenderungan Muzakki di daerah, khususnya di jawa timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal. Semangat berzakat yang 10 tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan yang dibuat sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.
6.    Jika semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu pintu dakwah yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan pendekatan zakat, diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas menengah, lebih mengena. Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan juga dengan kelebihan dana yang besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka zakat ini bisa mempersatukan berbagai kelas yang ada di masyarakat, terutama dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam hartanya dalam berzakat dan adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah satu titik pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat. Semuanya saling bersinergi.
7.    Posisi LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan ??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan dari atas (Baz) serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak berhak menyalurkan. Hal ini secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap hak konstitusional suatu Lembaga Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan masyarakat dengan program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat yang selama ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap merugikan LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi serta bisa di batalkan.
8.    Penyempitan dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas islam, maka hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi legal formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di dapat daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam, justru akan membuat suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak. Pengaturan Ormas sendiri selama ini lebih banyak untuk kepentingan pemerintah, dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak terlalu ketat dibandingkan dengan yayasan.
9.    Dengan semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja LAZ nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.
10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat. Dalam hal pengelolaan selama ini, khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan BAZ pun jauh tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10 peringkat lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya nasional, masih tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.
11. Kepentingan Politik yang sedemikian besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga akan berghubungan dengan BAZ. Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup berlebihan di BAZ, serta semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan berapa dana yang masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga yang berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk korupsi atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi posisi BAZ, sebagai regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang berhak membuat aturan main dari semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti termasuk aturan mainyang mungkin cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ sebagai pelaksana.
12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang mengikuti aturan atau dalam posisi sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas bagi zakat, seharusnya pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara struktur terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat antara BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan lembaga atau badan pengawas sifatnya adalah regulator.
13. Perubahan bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang selama ini masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang mempunyai kesamaan hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada aturan main untuk pelaporan dana yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme perubahan-perubahan susunan kepengurusan maupun aturan-aturan. Yayasan juga langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih detail dalam pendaftarannya. Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol pertanggungjawaban. Mengingat yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban terutama drai Muzakki, uang pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam bentuk apa? Serta program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka pertanggungjawab tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik. Sedangkan dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.
14. Aspek hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang selama ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan khas “Hukum Progresif” dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau Hukum untuk manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya, memang diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang “keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua amil zakat dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru akan mematikan semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas yang cepat dan mudah akan sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk bergerak karena dibatasi pasal yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500 juta. Dengan semakin sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk berzakat akan turun.
15. Secara kelembagaan kami memang mendukung niat baik pemerintah untuk mengawasi LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya ada fungsi pengawasan oleh negara. Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung otoriter, mutlak. Sehingga niat baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif, dengan mengkerdilak gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.



TANAH : OBJEK SENGKETA YANG BERLUMUR DARAH




Sengeketa terkait dengan tanah, tidak ada habisnya di negara ini. Mulai dari kasus antar perseorangan bahkan keluarga, hingga institusi dengan kelompok masyarakat. Mulai dari perseteruan masalah waris keluarga hingga permasalahan hak ulayat. Tanah yang sejatinya sebagai suatu objek atau benda yang sangat atau patut dibanggakan oleh para pemiliknya, justru bisa menjadi sengketa yang bisa mengakibatkan korban jiwa. Kasus terbaru di rokanhilir hingga pembakaran inventaris perusahaan oleh massa di deli serdang, merupakan salah satu kasus terkait dengan sengketa tanah.
Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai itikad baik dengan proyek Landreform dan juga Agraria reform, yang salah satunya sebagai pemerataan kepemilikan tanah. Serta bagian dari mensejahterahkan penduduk bangsa ini. Dengan adanya landreform dan Agraria reform seharusnya bisa menghapus tuan-tuan tanah yang bersifat diktator, bisa menghapus perlakuan semena-mena terutama terhadap petani, yang sekarang lebih luas lagi pemaknaan terhadap landreform, tidak hanya maslaah tanah pertanian (luas) dan juga petani, namun sekarang lebih ke arah kepemilikan tanah secara kelompok, serta bukti kepemilikan atau pensertifikasian serta hal-hal lainnya.
Salah satu sumber konflik secara kelompok adalah kepemilikan tanah. Hal ini ada juga kaitannya dengan hak ulayat serta bukti kepemilikan terutama sertifikat. Hak ulayat adalah suatu hak yang bersifat komunalistik, kelompok tertentu. Yang menunjukan adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Bisa sebagai suku ataupun sebagai yang bersifat teritorial seperti desa. Serta diakui eksistensinya, dalam artian masih di pergunakan oleh masyarakat adat tersebut. Salah satu konflik yang cukup tajam adalah saat sekelompok masyarakat melakukan klaim bahwa tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang ataupun badan hukum. Maka saat itu juga akan dipastikan keadaan tegang akan merasuki para pihak. Ancama bentrok, pembakaran ataupun korban jiwa akan segera tergambar langsung.
Seharusny dalam hal ini pemerintah segera melaksanakan suatu aksi yang konkrit dalam hal penanganan hak ulayat. Salah satunya dengan menerbitkan sertifikat atau bukti kepemilikan yang bersifat nyata dan terdaftar di BPN (dalam artian diakui secara legal). Saat hak ulayat tersebut sudah didaftarkan di BPN, maka saat itu juga dilindungi secara hukum. Begitu juga sebaliknya, saat suatu badan hukum mengkalim sebuah kepemilikan tanah, dan ada bukti kepemilikan secara sah, maka penegakan hukum akan berjalan semestinya. Namun juga perlu diperhatikan, proses pembuatan sertifikasi tersebut benar-benar dipantau para pihak. Tidak ada main suap dianatar masyarakat adat atau juga sebaliknya. Dengan adanya sertiifikat yang diakui kedua pihak maka negara akan mudah menegakkan hukum. Di dalam hukum tersebut juga dibuat aturan jika suatu saat ada yang mengklaim, dengan tata cara yang sudah diatur juga di UU. Jadi dengan adanya aksi konkrit dari negara, maka negara tidak akan disibukkan oleh permasalahan-permasalahan yang semestinya bisa selesai tahun 1960 an. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam hal perencanaan ini, sehingga saat semuanya sudah ada dasar hukumnya, sosialisasi sudah dijalankan, dan sudah ada aturan tertulis, maka pemerintah tinggal sebagai operator, atau pengawas.
Dengan kondisi adat yang sedemikian banyak di indonesia, memang cukup berat. Namun jika tidak segera di mulai, maka bersiap-siap saja, tanah di negara ini tidak saja dihiasi oleh rindangnya pohon atau kuningnya padi, tapi juga dihiasi oelh amis darah sengketa yang tidak pernah berakhir. Hukum bukan hanya maslaah aturan kaku saja, tapi hukum juga bis amelakukan pendekatan-pendekatan secara sosial ke masyarakat.

26 Maret 2012

Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :
Antara Lonceng kematian dengan Lonceng kebangkitan Lembaga Amil Zakat

Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ) akhirnya diketuk dan disahkan. Dengan hadirnya UUPZ ini diharapkan selain bisa menjadi suatu era baru  namun juga bisa menjadi suatu lobang yang bisa menjerumuskan. Banyak sekali pro dan kontra dari banyak pihak mulai kalangan legislatif, para amil zakat ataupun akademis. Memang, mungkin bisa sebagai khusnudzon kepada pemerintah hal ini sebagai langkah penertiban dan pembinaan suatu lembaga Zakat sehingga lembaga zakat ini tidak liar, terpantau, transparan ataupun jelas legalitasnya.
Ada beberapa pasal yang cukup menjadi pro dan kontra terhadap UUPZ ini :
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.

Hal ini bisa dikritisi melalui :
Posisi Baznas, dalam hal ini sebagai pelaksana saja atau sebagai regulator (pembuat aturan), jika memang sebagai pelaksana di bawah kementrian Agama, kenapa setiap pembentukan suatu UPZ harus mendapat rekomendasi dari Baznas. Bagaimana jika Baznas tersebut bersifat subjektif dengan “menggandoli” ? bagaimana jika kemudian Baznas menolak pembentukan UPZ karena dikarenakan alasan yang subjektif ?. seharusnya fungsi sebagai pelaksana dengan fungsi regulator seharusnya terpisah. Jika mengambil pendapat dari Montesqeuie tentang teori pemisahan kekuasaan seharusnya harus terpisah, sehingga Baznas lebih maksimal dalam pengumpulan dana atau menjadi pihak yang bertugas sebagai pengawas. Jika ini masih diteruskan, maka akan ada tumpang tindih kewenangan. Jika tidak ada pemisahan, maka akan mengarah ke Otoriter. Baznas berhak mengambil dan juga berhak “menjegal” LAZ. Siapa juga yang menjamin dari bebasnya pelanggaran dengan fungsi ganda sebagai regulator atau wasit tapi juga sebagai pemain. Hal yang menurut saya bukan suatu hal yang ideal.

(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;

selanjutnya adalah pembentukan LAZ yang  harus terdaftar sebagai Ormas Islam. Dari draft RUU Ormas, bentuk ormas, salah satunya adalah Lembaga dan Yayasan atau yang berbadan hukum. Padahal, mayoritas bentuk LAZ sekarang adalah yayasan. Apakah hal tersebut tidak membuang-buang energi. Bukahnkah Yayasan sudah di atur dalam suatu perundang-undangan yang khusus mengenai yayasan. Lalu kemana konsep Lex Specialis Derogat Legi generalis ? ataukah sebagai “permainan” saja, mengingat pengumpulan zakat oleh beberapa amil yang dinaungi oleh Ormas tidak seberapa besar oleh LAZ lain yang “independen”. Sebenanrnya dalam UU yayasan sudah dibuat mekanisme pertanggungjawaban, baik internal maupun eksternal. Jika kemudian dikembalikkan lagi sebagai ormas, lalu dikemanakan UU Yayasan. Bisa dilihat bagaimana lembaga amil zakat pioneer seperti YDSF, PKPU, DD, ataupun RZI yang berdiri di luar ormas, namun justru eksis dan diikuti oleh LAZ-LAZ lain. Dengan disempitkannya ruang gerak bagi pendirian LAZ, maka LAZ-LAZ non ormas yang berdiri dan sudah membuat gema zakat semakin berkibar, akan redup kembali. Semangat zakat dari para wajib zakat yang sudah naik, bisa-bis aturun kembali jika aturan ini dilaksanakan dengan ketat.
Kesan sentralistik, memang di satu sisi bagus dalampengawasan dan pengaturan, namun yang perlu diperhatikan, bagaimana LAZ-LAZ yang sudah bersemangat untuk mempopulerkan zakat harus bertrubukan dengan berbagai aturan yang cukup ketat bagi sebuah LAZ. Yang perlu diperhatikan dengan aturan yang serba ruwet ini, strategi-strategi dari LAZ-LAZ dengan menyamarkan lembaga zakatnya. Ini bisa membuat zakat sebagai akan kabur dengan berbagai cover dari LAZ tersebut sebagai akibat dari implikasi aturan yang ada. Jika ini diteruskan, semangat zakat akan kabur, justru akan semakin menghilangkan kesan “sakral” bagi pengambilan zakat tersebut. Seakan-akan justru zakat bukan sebagai pilihan utama.
Niatnya memang bagus dan dari internal amil zakat bisa diterima. Namun bagaiman penerimaan dengan person-person yang belum terjun pernah terjun langsung, maka bisa menimbulkan asumsi dan dugaan, bahwa sekaran LAZ tidak konsentrasi lagi ke ZISWAF dan sekitarnya tapi lebih mementingkan ke hal-hal yang bersifat Profit. Ketidaktahuan ini bisa menyebabkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LAZ. Person-person tersebut akan menganggap bahwa LAZ sekarang hanya memperkaya lembaganya atau bahkan pengurusnya sendiri. Hal yang sebenarnya penulis tidak setuju, karena banyak amil-amil yang dengan keprofesionalan mereka tetap hidup sederhana dan selama ini belum pernah ada amil yang menyeleweng (dalam hal pemeriksaan hingga meja hijau).
Keadaan ini yang Justru LAZ akan semakin gencar dari segmen usaha sebagai bagian dari menyiasati aturan tersebut. Tidak sepenuhya salah LAZ, tapi seharusnya legislatif membuat aturan yang lebih bersahabat, sehingga aturan tersebut tidak mengaburkan zakat tapi justru ikut menaikkan citra zakat sebagai salah satu kewajiban bagi umat islam.
Memang niat baik dari pemerintah dengan membuat suatu aturan tetap harus diapresiasikan sebagai suatu yang positif juga di satu sisi. Jika memang niatnya sebagai menjaga aturan agar zakat tetap bersih, itu bukan masalah. Jika memang berniat agar memudahkan bagi pemantauan suatu aliran dana zakat agar tetap bisa terpercaya, itu pun suatu semangat positif. Namun jika cara yang dipakai justru menyebabkan suatu hal “Kontraproduktif” maka hal itu justru akan membuat semangat bagi Muzakki ataupun amil zakat akan melemah.
Dalam UUPZ tersebut juga disebutkan bahwa dana operasional berasal dari APBN. Hal ini bisa menjadi suatu preseden yang buruk. Diambilkan oleh kas negara, dipantau oleh negara dalam hal ini BAZNAS juga terkait sebagai pengawas dan juga sebagai pelaksana. Suatu aturan yang tidak sehat. Pintu penyelewengan akan semakin mudah terbuka, terutama bagi zakat. Begitu juga pengambilan dana dari APBN, apakah hal ini justru juga membuat suatu pintu penyelewengan baru. Sekali lagi, tulisan ini hanya sebatas “Njagani”. Coba perhatikan dana haji, ataupun dana abadi umat hingga BOS, ada ketidak jelasan pengelolaan dan ketiadaan transparan. Jika saja PR tersebut belum beres, apalagi jika ditambah mengelola zakat, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan. Salah satu faktor memang minimnya nilai Trust pemerintah dalam hal pengelolaan dana. Mulai dari dana pajak hingga BOS, selalu ada saja indikasi pelanggaran, baik sebatas dugaan maupun jelas sudah masuk meja hijau. Apalagi ditambah mengelola dana zakat, apa amanah pemerintah justru tidak kerepotan. Seharusnya pemerintah tetap memberi peluang terhadap LAZ-LAZ yang sudah ada untuk bebas berkreasi namun tetap dalam koridor kepatuhan hukum. Pemerintah sebatas sebagai wasit saja, bukan sebagai pemain. Pemerintah akan terbantu, jadi bahasanya itu lebih ke “sinergi” bukan “top down” dalam hal pengelolaan zakat.
Namun, negara kita ini adalah negara hukum, dan di dalamya ada unsur paksaan untuk berlakunya suatu aturan atau hukum, terutama dengan asas “semua orang dianggap paham hukum”. Dengan berlakunya UUPZ ini memang dengan segala keterpaksaan, semua komponen yang tersebut di dalam UUPZ ini, termasuk LAZ, harus mematuhi dengan segala konsekuensinya. Meskipun ketika tulisan ini dibuat, PP untuk UUPZ masih dalam penggodokan pihak terkait. Semua aturan, secara jelas akan lebih menempatkan penegak hukum untuk berbuat lebih terhadap obyek yang diatur. Akan ada banyak celah yang bisa dipakai aparat terkait untuk menindak. Salah satunya adalah dalam hal pengelolan zakat harus lembaga yang sudah dapat pengesahan seperti dalam pasal 18. Jika dulu setiap idul fitri, hampir di setiap masjid-masjid terbentuk panitia kecil pengumpul dan penyalur zakat, tanpa harus mendapat ijin dari instansi terkait. Maka dengan UUPZ ini, para pantia zakat tersebut bisa dikenai sanksi pidana. Bukan suatu hal yang kecil, mengingat, secara sosial, masyarakat disekitar masjid tersebut sudah sangat percaya terhadap pengelolan zakat di masjid sekitar mereka tinggal. Jadi memang dengan segala keterpaksaan, semua aturan tersebut harus dilaksanakan selama belum ada peraturan yang mengubahnya ataupun lebih tinggi dalam hal kekhususan. Sekali lagi “DENGAN SEGALA KETERPAKSAAN...........”

daftar pustaka :
Materi kuliah umum “Kritisi Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat”, FE Unair, 03 Maret 2012 oleh :
Dr. Abdus Shomad, SH, MH
Dr. Yusuf Wibisono, SE,
Erie Sudewo