14 Agustus 2012

TANAH : OBJEK SENGKETA YANG BERLUMUR DARAH




Sengeketa terkait dengan tanah, tidak ada habisnya di negara ini. Mulai dari kasus antar perseorangan bahkan keluarga, hingga institusi dengan kelompok masyarakat. Mulai dari perseteruan masalah waris keluarga hingga permasalahan hak ulayat. Tanah yang sejatinya sebagai suatu objek atau benda yang sangat atau patut dibanggakan oleh para pemiliknya, justru bisa menjadi sengketa yang bisa mengakibatkan korban jiwa. Kasus terbaru di rokanhilir hingga pembakaran inventaris perusahaan oleh massa di deli serdang, merupakan salah satu kasus terkait dengan sengketa tanah.
Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai itikad baik dengan proyek Landreform dan juga Agraria reform, yang salah satunya sebagai pemerataan kepemilikan tanah. Serta bagian dari mensejahterahkan penduduk bangsa ini. Dengan adanya landreform dan Agraria reform seharusnya bisa menghapus tuan-tuan tanah yang bersifat diktator, bisa menghapus perlakuan semena-mena terutama terhadap petani, yang sekarang lebih luas lagi pemaknaan terhadap landreform, tidak hanya maslaah tanah pertanian (luas) dan juga petani, namun sekarang lebih ke arah kepemilikan tanah secara kelompok, serta bukti kepemilikan atau pensertifikasian serta hal-hal lainnya.
Salah satu sumber konflik secara kelompok adalah kepemilikan tanah. Hal ini ada juga kaitannya dengan hak ulayat serta bukti kepemilikan terutama sertifikat. Hak ulayat adalah suatu hak yang bersifat komunalistik, kelompok tertentu. Yang menunjukan adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Bisa sebagai suku ataupun sebagai yang bersifat teritorial seperti desa. Serta diakui eksistensinya, dalam artian masih di pergunakan oleh masyarakat adat tersebut. Salah satu konflik yang cukup tajam adalah saat sekelompok masyarakat melakukan klaim bahwa tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang ataupun badan hukum. Maka saat itu juga akan dipastikan keadaan tegang akan merasuki para pihak. Ancama bentrok, pembakaran ataupun korban jiwa akan segera tergambar langsung.
Seharusny dalam hal ini pemerintah segera melaksanakan suatu aksi yang konkrit dalam hal penanganan hak ulayat. Salah satunya dengan menerbitkan sertifikat atau bukti kepemilikan yang bersifat nyata dan terdaftar di BPN (dalam artian diakui secara legal). Saat hak ulayat tersebut sudah didaftarkan di BPN, maka saat itu juga dilindungi secara hukum. Begitu juga sebaliknya, saat suatu badan hukum mengkalim sebuah kepemilikan tanah, dan ada bukti kepemilikan secara sah, maka penegakan hukum akan berjalan semestinya. Namun juga perlu diperhatikan, proses pembuatan sertifikasi tersebut benar-benar dipantau para pihak. Tidak ada main suap dianatar masyarakat adat atau juga sebaliknya. Dengan adanya sertiifikat yang diakui kedua pihak maka negara akan mudah menegakkan hukum. Di dalam hukum tersebut juga dibuat aturan jika suatu saat ada yang mengklaim, dengan tata cara yang sudah diatur juga di UU. Jadi dengan adanya aksi konkrit dari negara, maka negara tidak akan disibukkan oleh permasalahan-permasalahan yang semestinya bisa selesai tahun 1960 an. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam hal perencanaan ini, sehingga saat semuanya sudah ada dasar hukumnya, sosialisasi sudah dijalankan, dan sudah ada aturan tertulis, maka pemerintah tinggal sebagai operator, atau pengawas.
Dengan kondisi adat yang sedemikian banyak di indonesia, memang cukup berat. Namun jika tidak segera di mulai, maka bersiap-siap saja, tanah di negara ini tidak saja dihiasi oleh rindangnya pohon atau kuningnya padi, tapi juga dihiasi oelh amis darah sengketa yang tidak pernah berakhir. Hukum bukan hanya maslaah aturan kaku saja, tapi hukum juga bis amelakukan pendekatan-pendekatan secara sosial ke masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar