Sengeketa
terkait dengan tanah, tidak ada habisnya di negara ini. Mulai dari kasus antar
perseorangan bahkan keluarga, hingga institusi dengan kelompok masyarakat.
Mulai dari perseteruan masalah waris keluarga hingga permasalahan hak ulayat. Tanah
yang sejatinya sebagai suatu objek atau benda yang sangat atau patut
dibanggakan oleh para pemiliknya, justru bisa menjadi sengketa yang bisa
mengakibatkan korban jiwa. Kasus terbaru di rokanhilir hingga pembakaran inventaris
perusahaan oleh massa di deli serdang, merupakan salah satu kasus terkait
dengan sengketa tanah.
Pemerintah
sebenarnya sudah mempunyai itikad baik dengan proyek Landreform dan juga
Agraria reform, yang salah satunya sebagai pemerataan kepemilikan tanah. Serta
bagian dari mensejahterahkan penduduk bangsa ini. Dengan adanya landreform dan
Agraria reform seharusnya bisa menghapus tuan-tuan tanah yang bersifat diktator,
bisa menghapus perlakuan semena-mena terutama terhadap petani, yang sekarang
lebih luas lagi pemaknaan terhadap landreform, tidak hanya maslaah tanah
pertanian (luas) dan juga petani, namun sekarang lebih ke arah kepemilikan
tanah secara kelompok, serta bukti kepemilikan atau pensertifikasian serta
hal-hal lainnya.
Salah
satu sumber konflik secara kelompok adalah kepemilikan tanah. Hal ini ada juga
kaitannya dengan hak ulayat serta bukti kepemilikan terutama sertifikat. Hak
ulayat adalah suatu hak yang bersifat komunalistik, kelompok tertentu. Yang
menunjukan adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas
suatu tanah tertentu. Bisa sebagai suku ataupun sebagai yang bersifat
teritorial seperti desa. Serta diakui eksistensinya, dalam artian masih di
pergunakan oleh masyarakat adat tersebut. Salah satu konflik yang cukup tajam
adalah saat sekelompok masyarakat melakukan klaim bahwa tanah yang sudah
dikuasai oleh seseorang ataupun badan hukum. Maka saat itu juga akan dipastikan
keadaan tegang akan merasuki para pihak. Ancama bentrok, pembakaran ataupun
korban jiwa akan segera tergambar langsung.
Seharusny
dalam hal ini pemerintah segera melaksanakan suatu aksi yang konkrit dalam hal
penanganan hak ulayat. Salah satunya dengan menerbitkan sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bersifat nyata dan terdaftar di BPN (dalam artian diakui
secara legal). Saat hak ulayat tersebut sudah didaftarkan di BPN, maka saat itu
juga dilindungi secara hukum. Begitu juga sebaliknya, saat suatu badan hukum
mengkalim sebuah kepemilikan tanah, dan ada bukti kepemilikan secara sah, maka
penegakan hukum akan berjalan semestinya. Namun juga perlu diperhatikan, proses
pembuatan sertifikasi tersebut benar-benar dipantau para pihak. Tidak ada main
suap dianatar masyarakat adat atau juga sebaliknya. Dengan adanya sertiifikat
yang diakui kedua pihak maka negara akan mudah menegakkan hukum. Di dalam hukum
tersebut juga dibuat aturan jika suatu saat ada yang mengklaim, dengan tata
cara yang sudah diatur juga di UU. Jadi dengan adanya aksi konkrit dari negara,
maka negara tidak akan disibukkan oleh permasalahan-permasalahan yang
semestinya bisa selesai tahun 1960 an. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam
hal perencanaan ini, sehingga saat semuanya sudah ada dasar hukumnya,
sosialisasi sudah dijalankan, dan sudah ada aturan tertulis, maka pemerintah
tinggal sebagai operator, atau pengawas.
Dengan
kondisi adat yang sedemikian banyak di indonesia, memang cukup berat. Namun
jika tidak segera di mulai, maka bersiap-siap saja, tanah di negara ini tidak
saja dihiasi oleh rindangnya pohon atau kuningnya padi, tapi juga dihiasi oelh
amis darah sengketa yang tidak pernah berakhir. Hukum bukan hanya maslaah
aturan kaku saja, tapi hukum juga bis amelakukan pendekatan-pendekatan secara
sosial ke masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar