14 Agustus 2012

tinjauan yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap keberlangsungan Lembaga Amil Zakat




Kasus Posisi :
  • Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ)
  • Adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat harus berubah dari bentuk yayasan menjadi bentuk Ormas islam
  • Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk pelanggaran di UUPZ

Dasar Hukum :
  • Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)
  • Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
  • Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
  • Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat
  • Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan



Rekomendasi kami :

1.    Sentralisasi pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh BAZ. BAZ dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini berperan sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas berhak menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi, Kabupaten / kota). Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup rumit. Di satu sisi sebagai regulator, pembuat aturan main, di satu sisi sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada aturan yang sepihak, yang lebih menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.
2.    Pembebanan biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin besar. Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten. Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir pemerintah, maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah kurang lebih puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin berat. Dana yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan adanya LAZ-LAZ maka tidak membebani anggaran negara.
3.    Sentralilsasi yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter. Fungsi kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain Negara, maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan mengontrol dana-dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung akan memudahkan BAZ sebagai operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta” yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ dari BAZ. Salah satunya adalah proses pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam format sebuat Ormas. Hal ini juga menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini masih mengikuti dasar hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di dalamnya tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan hukum, justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap dipertahankan, karena di dalamnya sudah ada mekanisme pengaturan pengurus, pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau aset, yang seharusnya dari sisi kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan, LAZ bisa dipersepsikan sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas penyuka zakat”  yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul” padahal sebagai LAZ ada dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik baik melalui laporan rutin ataupun melalui audit resmi, dan itu jika diatur dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit pertanggungjawabanya.
4.    Jika semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur birokrasi yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap. Juga rawan terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak terkontrol, rawan konflik, seperti kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu kemana dana-dana yang diperoleh ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang cendrung justru akan membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau “sarang baru Korupsi”.
5.    Ancaman pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan denda.hal ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun takmir-Tamir masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir atau ketua LAZ akan masuk penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau menerima zakat dan selanjutnya Muzakki akan malas untuk berzakat. Kecenderungan Muzakki di daerah, khususnya di jawa timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal. Semangat berzakat yang 10 tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan yang dibuat sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.
6.    Jika semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu pintu dakwah yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan pendekatan zakat, diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas menengah, lebih mengena. Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan juga dengan kelebihan dana yang besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka zakat ini bisa mempersatukan berbagai kelas yang ada di masyarakat, terutama dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam hartanya dalam berzakat dan adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah satu titik pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat. Semuanya saling bersinergi.
7.    Posisi LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan ??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan dari atas (Baz) serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak berhak menyalurkan. Hal ini secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap hak konstitusional suatu Lembaga Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan masyarakat dengan program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat yang selama ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap merugikan LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi serta bisa di batalkan.
8.    Penyempitan dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas islam, maka hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi legal formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di dapat daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam, justru akan membuat suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak. Pengaturan Ormas sendiri selama ini lebih banyak untuk kepentingan pemerintah, dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak terlalu ketat dibandingkan dengan yayasan.
9.    Dengan semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja LAZ nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.
10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat. Dalam hal pengelolaan selama ini, khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan BAZ pun jauh tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10 peringkat lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya nasional, masih tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.
11. Kepentingan Politik yang sedemikian besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga akan berghubungan dengan BAZ. Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup berlebihan di BAZ, serta semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan berapa dana yang masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga yang berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk korupsi atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi posisi BAZ, sebagai regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang berhak membuat aturan main dari semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti termasuk aturan mainyang mungkin cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ sebagai pelaksana.
12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang mengikuti aturan atau dalam posisi sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas bagi zakat, seharusnya pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara struktur terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat antara BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan lembaga atau badan pengawas sifatnya adalah regulator.
13. Perubahan bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang selama ini masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang mempunyai kesamaan hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada aturan main untuk pelaporan dana yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme perubahan-perubahan susunan kepengurusan maupun aturan-aturan. Yayasan juga langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih detail dalam pendaftarannya. Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol pertanggungjawaban. Mengingat yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban terutama drai Muzakki, uang pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam bentuk apa? Serta program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka pertanggungjawab tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik. Sedangkan dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.
14. Aspek hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang selama ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan khas “Hukum Progresif” dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau Hukum untuk manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya, memang diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang “keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua amil zakat dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru akan mematikan semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas yang cepat dan mudah akan sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk bergerak karena dibatasi pasal yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500 juta. Dengan semakin sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk berzakat akan turun.
15. Secara kelembagaan kami memang mendukung niat baik pemerintah untuk mengawasi LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya ada fungsi pengawasan oleh negara. Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung otoriter, mutlak. Sehingga niat baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif, dengan mengkerdilak gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar