26 Maret 2012

Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :
Antara Lonceng kematian dengan Lonceng kebangkitan Lembaga Amil Zakat

Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ) akhirnya diketuk dan disahkan. Dengan hadirnya UUPZ ini diharapkan selain bisa menjadi suatu era baru  namun juga bisa menjadi suatu lobang yang bisa menjerumuskan. Banyak sekali pro dan kontra dari banyak pihak mulai kalangan legislatif, para amil zakat ataupun akademis. Memang, mungkin bisa sebagai khusnudzon kepada pemerintah hal ini sebagai langkah penertiban dan pembinaan suatu lembaga Zakat sehingga lembaga zakat ini tidak liar, terpantau, transparan ataupun jelas legalitasnya.
Ada beberapa pasal yang cukup menjadi pro dan kontra terhadap UUPZ ini :
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.

Hal ini bisa dikritisi melalui :
Posisi Baznas, dalam hal ini sebagai pelaksana saja atau sebagai regulator (pembuat aturan), jika memang sebagai pelaksana di bawah kementrian Agama, kenapa setiap pembentukan suatu UPZ harus mendapat rekomendasi dari Baznas. Bagaimana jika Baznas tersebut bersifat subjektif dengan “menggandoli” ? bagaimana jika kemudian Baznas menolak pembentukan UPZ karena dikarenakan alasan yang subjektif ?. seharusnya fungsi sebagai pelaksana dengan fungsi regulator seharusnya terpisah. Jika mengambil pendapat dari Montesqeuie tentang teori pemisahan kekuasaan seharusnya harus terpisah, sehingga Baznas lebih maksimal dalam pengumpulan dana atau menjadi pihak yang bertugas sebagai pengawas. Jika ini masih diteruskan, maka akan ada tumpang tindih kewenangan. Jika tidak ada pemisahan, maka akan mengarah ke Otoriter. Baznas berhak mengambil dan juga berhak “menjegal” LAZ. Siapa juga yang menjamin dari bebasnya pelanggaran dengan fungsi ganda sebagai regulator atau wasit tapi juga sebagai pemain. Hal yang menurut saya bukan suatu hal yang ideal.

(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;

selanjutnya adalah pembentukan LAZ yang  harus terdaftar sebagai Ormas Islam. Dari draft RUU Ormas, bentuk ormas, salah satunya adalah Lembaga dan Yayasan atau yang berbadan hukum. Padahal, mayoritas bentuk LAZ sekarang adalah yayasan. Apakah hal tersebut tidak membuang-buang energi. Bukahnkah Yayasan sudah di atur dalam suatu perundang-undangan yang khusus mengenai yayasan. Lalu kemana konsep Lex Specialis Derogat Legi generalis ? ataukah sebagai “permainan” saja, mengingat pengumpulan zakat oleh beberapa amil yang dinaungi oleh Ormas tidak seberapa besar oleh LAZ lain yang “independen”. Sebenanrnya dalam UU yayasan sudah dibuat mekanisme pertanggungjawaban, baik internal maupun eksternal. Jika kemudian dikembalikkan lagi sebagai ormas, lalu dikemanakan UU Yayasan. Bisa dilihat bagaimana lembaga amil zakat pioneer seperti YDSF, PKPU, DD, ataupun RZI yang berdiri di luar ormas, namun justru eksis dan diikuti oleh LAZ-LAZ lain. Dengan disempitkannya ruang gerak bagi pendirian LAZ, maka LAZ-LAZ non ormas yang berdiri dan sudah membuat gema zakat semakin berkibar, akan redup kembali. Semangat zakat dari para wajib zakat yang sudah naik, bisa-bis aturun kembali jika aturan ini dilaksanakan dengan ketat.
Kesan sentralistik, memang di satu sisi bagus dalampengawasan dan pengaturan, namun yang perlu diperhatikan, bagaimana LAZ-LAZ yang sudah bersemangat untuk mempopulerkan zakat harus bertrubukan dengan berbagai aturan yang cukup ketat bagi sebuah LAZ. Yang perlu diperhatikan dengan aturan yang serba ruwet ini, strategi-strategi dari LAZ-LAZ dengan menyamarkan lembaga zakatnya. Ini bisa membuat zakat sebagai akan kabur dengan berbagai cover dari LAZ tersebut sebagai akibat dari implikasi aturan yang ada. Jika ini diteruskan, semangat zakat akan kabur, justru akan semakin menghilangkan kesan “sakral” bagi pengambilan zakat tersebut. Seakan-akan justru zakat bukan sebagai pilihan utama.
Niatnya memang bagus dan dari internal amil zakat bisa diterima. Namun bagaiman penerimaan dengan person-person yang belum terjun pernah terjun langsung, maka bisa menimbulkan asumsi dan dugaan, bahwa sekaran LAZ tidak konsentrasi lagi ke ZISWAF dan sekitarnya tapi lebih mementingkan ke hal-hal yang bersifat Profit. Ketidaktahuan ini bisa menyebabkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LAZ. Person-person tersebut akan menganggap bahwa LAZ sekarang hanya memperkaya lembaganya atau bahkan pengurusnya sendiri. Hal yang sebenarnya penulis tidak setuju, karena banyak amil-amil yang dengan keprofesionalan mereka tetap hidup sederhana dan selama ini belum pernah ada amil yang menyeleweng (dalam hal pemeriksaan hingga meja hijau).
Keadaan ini yang Justru LAZ akan semakin gencar dari segmen usaha sebagai bagian dari menyiasati aturan tersebut. Tidak sepenuhya salah LAZ, tapi seharusnya legislatif membuat aturan yang lebih bersahabat, sehingga aturan tersebut tidak mengaburkan zakat tapi justru ikut menaikkan citra zakat sebagai salah satu kewajiban bagi umat islam.
Memang niat baik dari pemerintah dengan membuat suatu aturan tetap harus diapresiasikan sebagai suatu yang positif juga di satu sisi. Jika memang niatnya sebagai menjaga aturan agar zakat tetap bersih, itu bukan masalah. Jika memang berniat agar memudahkan bagi pemantauan suatu aliran dana zakat agar tetap bisa terpercaya, itu pun suatu semangat positif. Namun jika cara yang dipakai justru menyebabkan suatu hal “Kontraproduktif” maka hal itu justru akan membuat semangat bagi Muzakki ataupun amil zakat akan melemah.
Dalam UUPZ tersebut juga disebutkan bahwa dana operasional berasal dari APBN. Hal ini bisa menjadi suatu preseden yang buruk. Diambilkan oleh kas negara, dipantau oleh negara dalam hal ini BAZNAS juga terkait sebagai pengawas dan juga sebagai pelaksana. Suatu aturan yang tidak sehat. Pintu penyelewengan akan semakin mudah terbuka, terutama bagi zakat. Begitu juga pengambilan dana dari APBN, apakah hal ini justru juga membuat suatu pintu penyelewengan baru. Sekali lagi, tulisan ini hanya sebatas “Njagani”. Coba perhatikan dana haji, ataupun dana abadi umat hingga BOS, ada ketidak jelasan pengelolaan dan ketiadaan transparan. Jika saja PR tersebut belum beres, apalagi jika ditambah mengelola zakat, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan. Salah satu faktor memang minimnya nilai Trust pemerintah dalam hal pengelolaan dana. Mulai dari dana pajak hingga BOS, selalu ada saja indikasi pelanggaran, baik sebatas dugaan maupun jelas sudah masuk meja hijau. Apalagi ditambah mengelola dana zakat, apa amanah pemerintah justru tidak kerepotan. Seharusnya pemerintah tetap memberi peluang terhadap LAZ-LAZ yang sudah ada untuk bebas berkreasi namun tetap dalam koridor kepatuhan hukum. Pemerintah sebatas sebagai wasit saja, bukan sebagai pemain. Pemerintah akan terbantu, jadi bahasanya itu lebih ke “sinergi” bukan “top down” dalam hal pengelolaan zakat.
Namun, negara kita ini adalah negara hukum, dan di dalamya ada unsur paksaan untuk berlakunya suatu aturan atau hukum, terutama dengan asas “semua orang dianggap paham hukum”. Dengan berlakunya UUPZ ini memang dengan segala keterpaksaan, semua komponen yang tersebut di dalam UUPZ ini, termasuk LAZ, harus mematuhi dengan segala konsekuensinya. Meskipun ketika tulisan ini dibuat, PP untuk UUPZ masih dalam penggodokan pihak terkait. Semua aturan, secara jelas akan lebih menempatkan penegak hukum untuk berbuat lebih terhadap obyek yang diatur. Akan ada banyak celah yang bisa dipakai aparat terkait untuk menindak. Salah satunya adalah dalam hal pengelolan zakat harus lembaga yang sudah dapat pengesahan seperti dalam pasal 18. Jika dulu setiap idul fitri, hampir di setiap masjid-masjid terbentuk panitia kecil pengumpul dan penyalur zakat, tanpa harus mendapat ijin dari instansi terkait. Maka dengan UUPZ ini, para pantia zakat tersebut bisa dikenai sanksi pidana. Bukan suatu hal yang kecil, mengingat, secara sosial, masyarakat disekitar masjid tersebut sudah sangat percaya terhadap pengelolan zakat di masjid sekitar mereka tinggal. Jadi memang dengan segala keterpaksaan, semua aturan tersebut harus dilaksanakan selama belum ada peraturan yang mengubahnya ataupun lebih tinggi dalam hal kekhususan. Sekali lagi “DENGAN SEGALA KETERPAKSAAN...........”

daftar pustaka :
Materi kuliah umum “Kritisi Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat”, FE Unair, 03 Maret 2012 oleh :
Dr. Abdus Shomad, SH, MH
Dr. Yusuf Wibisono, SE,
Erie Sudewo