Kasus
Posisi :
- Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit
dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat
(selanjutnya disebut UUPZ)
- Adanya peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat harus berubah dari bentuk yayasan
menjadi bentuk Ormas islam
- Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk
pelanggaran di UUPZ
Dasar
Hukum :
- Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)
- Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
- Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
- Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
masyarakat
- Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan
Rekomendasi
kami :
1.
Sentralisasi
pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh BAZ. BAZ
dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini berperan
sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak
mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas
berhak menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi,
Kabupaten / kota). Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup
rumit. Di satu sisi sebagai regulator, pembuat aturan main, di satu sisi
sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada aturan yang sepihak, yang lebih
menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.
2.
Pembebanan
biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin besar.
Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten.
Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir
pemerintah, maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah
kurang lebih puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin
berat. Dana yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan
adanya LAZ-LAZ maka tidak membebani anggaran negara.
3.
Sentralilsasi
yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter. Fungsi
kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain
Negara, maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan
mengontrol dana-dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat.
Aturan-aturan yang dibuat oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung
akan memudahkan BAZ sebagai operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta”
yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ dari BAZ. Salah satunya adalah proses
pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam format sebuat Ormas. Hal ini juga
menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini masih mengikuti dasar
hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di dalamnya
tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan
hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis
perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan
hukum, justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16
tahun 2001 dan Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap
dipertahankan, karena di dalamnya sudah ada mekanisme pengaturan pengurus,
pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau aset, yang seharusnya dari sisi
kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan, LAZ bisa dipersepsikan
sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas penyuka zakat” yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul”
padahal sebagai LAZ ada dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik
baik melalui laporan rutin ataupun melalui audit resmi, dan itu jika diatur
dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit pertanggungjawabanya.
4.
Jika
semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit
pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur
birokrasi yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap.
Juga rawan terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak
terkontrol, rawan konflik, seperti kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya
berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu kemana dana-dana yang diperoleh
ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang cendrung justru akan
membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau “sarang baru
Korupsi”.
5.
Ancaman
pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak
mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan
denda.hal ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun
takmir-Tamir masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir
atau ketua LAZ akan masuk penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya
adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau menerima zakat dan selanjutnya Muzakki
akan malas untuk berzakat. Kecenderungan Muzakki di daerah, khususnya di jawa
timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal. Semangat berzakat yang 10
tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan yang dibuat
sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.
6.
Jika
semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang
sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu
pintu dakwah yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan
pendekatan zakat, diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas
menengah, lebih mengena. Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan
juga dengan kelebihan dana yang besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka
zakat ini bisa mempersatukan berbagai kelas yang ada di masyarakat, terutama
dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam hartanya dalam berzakat dan
adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah satu titik
pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah
melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat.
Semuanya saling bersinergi.
7.
Posisi
LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan
??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan
dari atas (Baz) serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak
berhak menyalurkan. Hal ini secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap
hak konstitusional suatu Lembaga Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C
ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan masyarakat dengan
program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat yang selama
ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap merugikan
LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi
daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi
serta bisa di batalkan.
8.
Penyempitan
dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas islam, maka
hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi legal
formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di
dapat daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam,
justru akan membuat suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak.
Pengaturan Ormas sendiri selama ini lebih banyak untuk kepentingan pemerintah,
dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak terlalu ketat dibandingkan dengan
yayasan.
9.
Dengan
semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja LAZ
nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang
gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat
kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian
semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.
10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan
dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat. Dalam hal pengelolaan selama ini,
khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan kegiatan-kegiatan yang
bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan BAZ pun jauh
tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah
peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10
peringkat lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya
nasional, masih tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.
11. Kepentingan Politik yang sedemikian
besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga akan berghubungan dengan BAZ.
Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup berlebihan di BAZ, serta
semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan berapa dana yang
masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga yang
berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk
korupsi atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi
posisi BAZ, sebagai regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang
berhak membuat aturan main dari semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti
termasuk aturan mainyang mungkin cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ
sebagai pelaksana.
12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja
yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang mengikuti aturan atau dalam posisi
sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas bagi zakat, seharusnya
pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara struktur
terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat
antara BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan
lembaga atau badan pengawas sifatnya adalah regulator.
13.
Perubahan
bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara
legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang
selama ini masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang
mempunyai kesamaan hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya
sudah cukup mumpuni untuk mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada
aturan main untuk pelaporan dana yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme
perubahan-perubahan susunan kepengurusan maupun aturan-aturan. Yayasan juga
langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih detail dalam pendaftarannya.
Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol pertanggungjawaban. Mengingat
yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban terutama drai Muzakki, uang
pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam bentuk apa? Serta
program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka pertanggungjawab
tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan
fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik.
Sedangkan dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.
14.
Aspek
hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang selama
ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan
khas “Hukum Progresif” dari Alm.
Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau Hukum untuk
manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya, memang
diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang
“keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua
amil zakat dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru
akan mematikan semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas
yang cepat dan mudah akan sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan
amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk bergerak karena dibatasi pasal
yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500 juta. Dengan semakin
sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk berzakat akan
turun.
15.
Secara kelembagaan kami memang mendukung niat
baik pemerintah untuk mengawasi LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya
ada fungsi pengawasan oleh negara. Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari
negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung otoriter, mutlak. Sehingga niat
baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif, dengan mengkerdilak
gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.