Keprihatianan atas banyaknya
kerusuhan Lapas yang semakin sering terjadi, mulai dari salemba, krobokan
hingga tanjung gusta medan. Dunia hukum di indonesi masih memperihatinkan namun
sekaligus membukakan mata bahwa memang segera diperlukan suatu perbaikan yang
banyak. Saat penegakan hukum sudah berjalan positif, namun tidak diikuti
infrastruktur yang ada dan mampu, salah satunya lapas, maka penegakan hukum
tersebut hanya bersifat “penumpasan” saja, tidak ada unsur untuk perbaikan.
Kondisi penegakan hukum dalam hal
pembinaan para narapidana memang masih belum menampakan hasil yang nyata di
tinjau dari sisi hasil atau setelah seoarng narapidana keluar. Kadang masih
saja ada narapidana yang masih melakukan sebuah aksi bromocorah. Lapas yang
seharusnya menjadi sebuah tempat untuk “pendidikan” dan “pencucian dosa” malah
menjadi suatu tempat untuk pendidikan kriminal dan penyiapan aksi – aksi
kriminal lagi.
Salah satu analisa problem, yang
pertama adalah kapasitas yang berlebihan. Hal ini sangat berbahaya, bisa
menjadi api di dalam sekam, sewaktu-waktu akan meletus menjadi sebuah
kerusuhan, sewaktu-waktu akan bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang merasa
sudah saatnya membuat kekacauan di negara ini bahkan tidak mungkin ini salah
satu dari aksi untuk melancarkan cara pihak ketiga yang bersikap negatif untuk
menyambut tahun pemilu, 2014. Kurikulum pendidikan di Lapas memang perlu segera
di buat secara tegas dan alangkah baiknya, untuk sementara lebih bernafaskan
penegakan hukum secara ketat bukan lebih banyak ke arah pembinaan
kemasyarakatan yang tidak ada aturan hukum, atau lebih banyak ke norma
kemasyarakatan, yang secara penegakan hukum akan sulit di praktekan. Kelebihan kapasitas
ini seharusnya segera menjadi konsen negara ini untuk perbaikan mutu Lapas –
Lapas di nusantara ini. Secara simpelnya, buat peta rencana pembuatan lapas –
lapas tambahan. Sebagai suatu organisasi yang di bawah birokrasi seharusnya ini
perkara yang gampang, mudah dan tidak perlu di buat susah. Beking birokrasi,
kebutuhan dan bukti kerusuhan sudah ada. Tinggak eksekusi secara jujur dan
profesional.
Kedua, kewenangan. Selama ini kita
mengenal tahanan polisi, kejaksaan dan juga lapas. Permasalahannya seharusnya
alur birokrasi, dalam hal ini, alur penyelesaian perkara segera di buat cepat. Hingga
tidak ada penumpukan narapidana atau pun yang sedang dalam proses. Jikalau memang
ada masalah kapasitas, ajukan saja lapas tambahan sehingga bisa menerima
tahanan titipan, dan tersentral dan lebih mudah. Ini akan memudahkan
pengawasan, mengurangi resiko suap dan lainnya.
Ketiga, masalah pengamanan. Selama ini
dari beberapa berita, profil seorang petugas lapas “Kurang sangar” untuk
menghadapi narapidana berbahaya. Mungkin perlu di pikirkan juga di satuan lapas
tersebut, ada satuan pemukul yang berkarakter keras, tanpa ampun, juju dan
profesional dalam penegakan hukum. Kita akui, di negara ini, masih banyak orang
yang lebih “takut” bukan “segan” terhadap aparat dari TNI yang memang dilatih
keras dan disiapkan untuk perang (lebih garangnya lagi disiapkan untuk bunuh
orang) daripada orang-orang sipil. Dari kerusuhan tersebut tetap dibutuhkan
profil petugas lapas yang keras. Sebagai contoh kecil, Dari beberapa tayangan
di TV kabel, dari channel national geographic, biasanya dalam lapas itu sudah
ada pembagian tugas, mulai dari yang bersiap untuk bermain keras jika suatu
saat ada kerusuhan ataupun ada masalah hukum dan juga yang bermain lembut
(pemuka agama, psikolog dan sejenisnya). Kolaborasi itu akan bisa membuat napi
di lapas – lapas itu menjadi segan dan juga takut. Dengan pendekatan secara
lembut diharapkan hati mereka menjadi lembut, sehingga merasa di “orang”kan dan
akhirnya segan. Namun juga perlu pendekatan keras bahkan cenderung tegas, tanpa
kompromi, sehingga napi juga akan merasa takut untuk melanggar hukum. Yang terjadi
selama ini , biasanya mereka takut masuk lapas karena takut dengan narapidannya
bukan takut hukumnya.
Keempat, pola pembinaan atau
kurikulum pembinaan dan pendidikan perlu segera di benahi, di dalamnya termasuk
sistem prosedur yang berlaku. Dari berita-berita di koran, saat terjadi
kerusuhan, biasanya massa yang bergerak cukup besar, sehingga petugas lapas
reguler kewalahan dan akhirnya harus “kalah”. Diperlukan sistem untuk menangani
atau mencegah berkumpulnya massa yang sedemikian banyak. Bisa dengan memecah
konsentrasi dengan pengamanan yang maksimal. Terutama narapidan yang terlibat
kerusuhan-kerusuhan massal, mereka mudah digerakkan. Ada batas antar blok yang
jelas. Tetap ada pembatasan saat ada pertemuan bersama. Pembinaan internal,
selain kesigapan petugas, juga diperlukan data-data intelijen yang akurat. Siapa
saja napi yang mempunyai kecenderungan berontak, anarkis, penghasut, atau napi
yang diam saja ? Apakah akan ada aksi balasan setiap ada penegakan hukumdi
lapas tersebut ? apakah akan ada aksi besar-besaran atas terjadinya suatu
peristiwa hukum di lapas tersebut ? apakah diperlukan untuk memanggil back up
dari kepolisian bahkan TNI ? itu semua diperlukan. Daya penciuman intelijen
atas terjadinya suatu kerusuhan tetap harus dikembangkan dan dilatih. Boleh lah
menggunakan pendekatan kekeluargaan atau sosial, tapi tetap harus ada ketegasan
Kelima, moral petugas Lapas. Salah satu
hilanganya kewibawaan petugas dan juga hukum, adalah saat ada oknum petugas
yang sedemikian mudah mengijinkan praktek kriminal di lapas tersebut dengan
diganti segepok uang. Pabrik narkoba, praktek perdagangan narkoba hingga free
sex bukan barang aneh di lapas. Jika lapas memang di buat untuk menyiapkan
narapidana agar insyaf dan bisa kembali ke masyarakat dengan baik, hindari
hal-hal negatif tersebut. Oknum –oknum petugas lapas akhirnya yang membuat
lapas tidak di takuti lagi. Narapidan pemberontak akhirnya berfikir ‘anda sudah
kami bayar….”. Wibawa hilang, tidak ditakuti dan akhirnya, justru petugas lapas
yang diberlakukan sewenang-wenang oleh narapidana. Suatu keterbalikan keadaan
yang bodoh.
Dengan bersinerginya semua elemen
kekuatan penegak hukum, maka perbaikan lapas yang positif akan bisa membuat
penegakan hukum yang baik. Meskipun sebuah hukuman adalah suatu pembalasan,
namun tetap dalam harapan, bahwa lapas tetap harus bersahabat dengan narapidana
tanpa harus kehilangan kewibawaan dari lapas tersebut.