05 September 2013

Miss World : Penyusupan budaya berkedok kontes kecantikan

Miss world dengan segala covernya tetaplah sebuah kontes yang lebih mengarak ke fisik, meskipun di kampanyekan dengan kecerdasan. Sejak jaman dahulu obyek wanita tetap menarik di dunia ini. Bahkan kadang wanita sendiri tidak merasa ditipu oleh para penipu berkedok harkat dan martabat kewanitaan. Iklan-iklan akan lebih menjual jika di dalamnya ada nilai-nilai yang mengeksploitasi tubuh wanita tanpa batas. Nilai-nilai yang lebih mengarah ke arah sex bebas.
Penyelengaraan miss world di bali ini juga suatu kecelakaan dan mungkin memang di skenariokan agar terjadi kecelakaan di indonesia. Dari sisi religi, negara dengan umat iuslam terbanyak di asia ini, seakan-akan dibuat sebuah bidak permainan. Dengan gampannya penyelenggara miss world mengajukan ijin ke pemerintah, padahal secara logika, dengan banyaknya umat islam yang berada di negara ini, pasti akan ada konflik. Seakan-akan memang diskenariokan untuk mencoba memecah belah pemikiran umat islam, di kotakkan dan di petakan, siapa saja yang beraliran puritan maupun liberal. Siapa yang mendukung dan menolak, sehingga setelah miss world ini, mungkin akan ada agenda sejenis masuk ke wilayah negara kita tercinta ini.
Agenda internasional  ini kemungkinan besar memang bertujuan untuk memecah belah negara ini. Coba kita bayangkan, atau kita bandingkan, salah satu keruntuhan Uni soviet kala itu, bukan saja masalah politik militer invasi ke afghanistan, namun juga masalah budaya – budaya ke-baratan yang sebenarnya bertentangan dengan marxisme awal saat revolusi era Lenin maupun Stalin. Bahkan soviet dikenal sebagai negara porno besar.  Negara dengan kekuatan besar dan ideologi yang cukup membahana di seantero dunia, bisa dihancurkan dengan penyusupan budaya-budaya yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya asal. Kekuatan militer yang besar dan raksasa terutama dengan pakta warsawanya seakan-akan membisu saat gelombang budaya menyikat pemikiran generasi mudanya.
Melihat kondisi umat islam di negara kita ini, dengan beragam alirannya, sebenarnya merupakan peluanguntuk persatuan , namun juga ada peluang kehancuran, banyak benturan pemikiran yang memang sengaja dibuat untuk dibenturkan, yang ranahnya bukan lagi perdebatan untuk mencari keilmuan tapi sudah penghancuran. perdebatan sudah jauh melenceng dari kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan alasan pembaharuan namun justru seakan-akan kembali ke belakang. Salah satunya miss world 2013, dengan alasan emansipasi, brain, beauty, tidak ada bikin dan lainnya, sekaan-akan menjustifikasi untuk melindungi wanita.
Kemudian dari sisi pariwisata, coba kita perhatikan iklan-iklan di TV kabel lokal, yang pertama berani mengiklankan pariwisatanya di dunia justru adalah malaysia dan singapura. Negara yang berani  tanpa miss world, justru pariwisatanya mendunia.  Kalo memang pemerintah berani, tolak saja miss world, anggaran dipakai untuk mengkampanyekan pariwisata indonesia dengan lebih beradad dan ujung pasti barokah. Tidak perlu pamer aurat untuk membuat negara kita kaya devisa dari pariwisata. Tidak ada korelasi antara pariwisata dengan pamer aurat. Bahasa suroboyoanya : “Kaspo cak.”

Hal ini juga sebagai titik tolak semua elemen islam, bahwa serangan bertubi-tubi ke negara kita akan semakin sering dan gencar. Mulai dari pemikiran liberal hingga suatu budaya. Dengan berbagai aliran apapun, seharusnya dengan pendidikan yang baik di masing-masing harokah atau pergerakannya, tetap ada poin yang sama yaitu ukhuwah. 

22 Agustus 2013

KERUSUHAN LAPAS : antara penegakan hukum dan pembinaan

Keprihatianan atas banyaknya kerusuhan Lapas yang semakin sering terjadi, mulai dari salemba, krobokan hingga tanjung gusta medan. Dunia hukum di indonesi masih memperihatinkan namun sekaligus membukakan mata bahwa memang segera diperlukan suatu perbaikan yang banyak. Saat penegakan hukum sudah berjalan positif, namun tidak diikuti infrastruktur yang ada dan mampu, salah satunya lapas, maka penegakan hukum tersebut hanya bersifat “penumpasan” saja, tidak ada unsur untuk perbaikan.
Kondisi penegakan hukum dalam hal pembinaan para narapidana memang masih belum menampakan hasil yang nyata di tinjau dari sisi hasil atau setelah seoarng narapidana keluar. Kadang masih saja ada narapidana yang masih melakukan sebuah aksi bromocorah. Lapas yang seharusnya menjadi sebuah tempat untuk “pendidikan” dan “pencucian dosa” malah menjadi suatu tempat untuk pendidikan kriminal dan penyiapan aksi – aksi kriminal lagi.
Salah satu analisa problem, yang pertama adalah kapasitas yang berlebihan. Hal ini sangat berbahaya, bisa menjadi api di dalam sekam, sewaktu-waktu akan meletus menjadi sebuah kerusuhan, sewaktu-waktu akan bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang merasa sudah saatnya membuat kekacauan di negara ini bahkan tidak mungkin ini salah satu dari aksi untuk melancarkan cara pihak ketiga yang bersikap negatif untuk menyambut tahun pemilu, 2014. Kurikulum pendidikan di Lapas memang perlu segera di buat secara tegas dan alangkah baiknya, untuk sementara lebih bernafaskan penegakan hukum secara ketat bukan lebih banyak ke arah pembinaan kemasyarakatan yang tidak ada aturan hukum, atau lebih banyak ke norma kemasyarakatan, yang secara penegakan hukum akan sulit di praktekan. Kelebihan kapasitas ini seharusnya segera menjadi konsen negara ini untuk perbaikan mutu Lapas – Lapas di nusantara ini. Secara simpelnya, buat peta rencana pembuatan lapas – lapas tambahan. Sebagai suatu organisasi yang di bawah birokrasi seharusnya ini perkara yang gampang, mudah dan tidak perlu di buat susah. Beking birokrasi, kebutuhan dan bukti kerusuhan sudah ada. Tinggak eksekusi secara jujur dan profesional.
Kedua, kewenangan. Selama ini kita mengenal tahanan polisi, kejaksaan dan juga lapas. Permasalahannya seharusnya alur birokrasi, dalam hal ini, alur penyelesaian perkara segera di buat cepat. Hingga tidak ada penumpukan narapidana atau pun yang sedang dalam proses. Jikalau memang ada masalah kapasitas, ajukan saja lapas tambahan sehingga bisa menerima tahanan titipan, dan tersentral dan lebih mudah. Ini akan memudahkan pengawasan, mengurangi resiko suap dan lainnya.
Ketiga, masalah pengamanan. Selama ini dari beberapa berita, profil seorang petugas lapas “Kurang sangar” untuk menghadapi narapidana berbahaya. Mungkin perlu di pikirkan juga di satuan lapas tersebut, ada satuan pemukul yang berkarakter keras, tanpa ampun, juju dan profesional dalam penegakan hukum. Kita akui, di negara ini, masih banyak orang yang lebih “takut” bukan “segan” terhadap aparat dari TNI yang memang dilatih keras dan disiapkan untuk perang (lebih garangnya lagi disiapkan untuk bunuh orang) daripada orang-orang sipil. Dari kerusuhan tersebut tetap dibutuhkan profil petugas lapas yang keras. Sebagai contoh kecil, Dari beberapa tayangan di TV kabel, dari channel national geographic, biasanya dalam lapas itu sudah ada pembagian tugas, mulai dari yang bersiap untuk bermain keras jika suatu saat ada kerusuhan ataupun ada masalah hukum dan juga yang bermain lembut (pemuka agama, psikolog dan sejenisnya). Kolaborasi itu akan bisa membuat napi di lapas – lapas itu menjadi segan dan juga takut. Dengan pendekatan secara lembut diharapkan hati mereka menjadi lembut, sehingga merasa di “orang”kan dan akhirnya segan. Namun juga perlu pendekatan keras bahkan cenderung tegas, tanpa kompromi, sehingga napi juga akan merasa takut untuk melanggar hukum. Yang terjadi selama ini , biasanya mereka takut masuk lapas karena takut dengan narapidannya bukan takut hukumnya.
Keempat, pola pembinaan atau kurikulum pembinaan dan pendidikan perlu segera di benahi, di dalamnya termasuk sistem prosedur yang berlaku. Dari berita-berita di koran, saat terjadi kerusuhan, biasanya massa yang bergerak cukup besar, sehingga petugas lapas reguler kewalahan dan akhirnya harus “kalah”. Diperlukan sistem untuk menangani atau mencegah berkumpulnya massa yang sedemikian banyak. Bisa dengan memecah konsentrasi dengan pengamanan yang maksimal. Terutama narapidan yang terlibat kerusuhan-kerusuhan massal, mereka mudah digerakkan. Ada batas antar blok yang jelas. Tetap ada pembatasan saat ada pertemuan bersama. Pembinaan internal, selain kesigapan petugas, juga diperlukan data-data intelijen yang akurat. Siapa saja napi yang mempunyai kecenderungan berontak, anarkis, penghasut, atau napi yang diam saja ? Apakah akan ada aksi balasan setiap ada penegakan hukumdi lapas tersebut ? apakah akan ada aksi besar-besaran atas terjadinya suatu peristiwa hukum di lapas tersebut ? apakah diperlukan untuk memanggil back up dari kepolisian bahkan TNI ? itu semua diperlukan. Daya penciuman intelijen atas terjadinya suatu kerusuhan tetap harus dikembangkan dan dilatih. Boleh lah menggunakan pendekatan kekeluargaan atau sosial, tapi tetap harus ada ketegasan
Kelima, moral petugas Lapas. Salah satu hilanganya kewibawaan petugas dan juga hukum, adalah saat ada oknum petugas yang sedemikian mudah mengijinkan praktek kriminal di lapas tersebut dengan diganti segepok uang. Pabrik narkoba, praktek perdagangan narkoba hingga free sex bukan barang aneh di lapas. Jika lapas memang di buat untuk menyiapkan narapidana agar insyaf dan bisa kembali ke masyarakat dengan baik, hindari hal-hal negatif tersebut. Oknum –oknum petugas lapas akhirnya yang membuat lapas tidak di takuti lagi. Narapidan pemberontak akhirnya berfikir ‘anda sudah kami bayar….”. Wibawa hilang, tidak ditakuti dan akhirnya, justru petugas lapas yang diberlakukan sewenang-wenang oleh narapidana. Suatu keterbalikan keadaan yang bodoh.

Dengan bersinerginya semua elemen kekuatan penegak hukum, maka perbaikan lapas yang positif akan bisa membuat penegakan hukum yang baik. Meskipun sebuah hukuman adalah suatu pembalasan, namun tetap dalam harapan, bahwa lapas tetap harus bersahabat dengan narapidana tanpa harus kehilangan kewibawaan dari lapas tersebut.